Minggu, 19 Januari 2020

MATERI SEJARAH INDONESIA 3.11 4.11 KURIKULUM 2013 REVISI 2018 kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia


kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia

3.11 Mengevaluasi perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia
4.11 Mengolah informasi tentang pekembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia

A.  Indonesia pada Masa Orde Baru
1.   Lahirnya Pemerintahan Orde Baru
Orde Baru adalah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara  murni dan konsekuen.
Orde Baru lahir setelah di keluarkannya supersemar, yang hadir dengan “koreksi total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1967-1998.
Usaha untuk penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh banyak pihak, meliputi pemerintah dan masyarakat. Pada tanggal 8 Januari 1966 muncul kesatuan-kesatuan aksi untuk menentang G30S/PKI dengan agenda utamanya menuntut perbaikan terhadap kebijakan ekonomi Indonesia yang bergabung dalam Front Pancasila dan  dikenal dengan sebutan angkatan ’66, meliputi:
Ø  Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Ø  Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
Ø  Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
Ø  Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
Ø  Pada tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang bergabung dalam Front Pancasila berkumpul di halaman gedung DPR GR untuk mengajukan tri tuntutan rakyat (tritura). Isi tritura :
·         Pembubaran PKI beserta organisasi masanya
·         Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure PKI
·         Penurunan harga-harga barang
Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor untuk menghadapi berbagai tuntutan dari berbagai masyarakat yang dihadiri oleh para wakil mahasiswa. Presiden Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh CIA Amerika Serikat. Akhirnya tuntutan mengenai perombakan cabinet dikabulkan dan pada tanggal 21 Januari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan perubahan cabinet.  Namun perubahan cabinet tersebut tidak memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI berada dalam cabinet baru tersebut (Kabinet Seratus Menteri) Pada tanggal 24 Februari 1966 saat pelaksanakan pelantikan cabinet banyak mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang Pasukan Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan hingga menyebabkan gugurnya seorang mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh para demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 pascaperistiwa G30S/PKI terjadi ketidaksepakatan antara Presiden Soekarno dengan Letjen Soeharto mengenai penyelesaian krisis politik yg terjadi di Indonesia pada saat itu. Letjen Soeharto berpendapat bahwa satu-satunya langkah keluar untuk meredakan krisis dalam negeri adalah menumpas PKI beserta antek-anteknya dengan cara tersebut maka rasa keamanan dan keadilan akan terpenuhi. Sedangkan Soekarno berpendapat bahwa tidak mungkin membubarkan PKI karena akan menimbulkan inkonsistensi terhadap pelaksanaan prinsip Nasakom (nasionalis- agamis- komunis) yang telah menjadi dasar pemikiran politik Indonesia pada masa itu.
Akhirnya pada tanggal 10 Maret 1966, Presiden Soekarno mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh berbagai partai politik, seperti PSII, NU, PI.Perti, Partai Katholik, Parkindo, Muhammadiyah, PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.
Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno didampingi A.M. Hanafi, dr. Soemarno, Dr. Soebandro,Dr. J Leimena, Mayjen Achmad, dan Dr. Chaerul Saleh. Presiden Soekarno menyatakan pendapatnya dan menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi masa yang hadir pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan tuntutan trituranya.
Pada tanggal 11 Maret 1966, digelar sidang paripurna yang agendanya merumuskan langkah langkah keluar dari krisis ekonomi, social, dan politik Indonesia.Di tengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno diberi tahuoleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur  bahwa ada konsentrasi pasukan tidak dikenal di luar istana. Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana Bogor didampingi oleh Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chairul Saleh (Waperdam III). Kemudian Dr. J. Leimena (Waperdam II) menutup rapat dan menyusul ke Istana Bogor. Diikuti dengan para perwira tinggi AD yaitu  Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen M. Yusuf juga menyusul, namun sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharto dan melaporkan tentang keadaan siding cabinet dan meminta izin untuk menemui Presiden di Istana Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak benar ada pasukan liar di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI AD tetap setia dan taat kepada Presiden Soekarno.
Presiden mengizinkan ketiga perwira tinggi tersebut untuk pergi ke Istana Bogor dan berpesan bahwa Letjen Soeharto bersedia dan sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno mempercayakan hal tersebut kepadanya.
Di Istana Bogor Presiden Soekarno memerintahkan kepada ketiga perwira tinggi bersama Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang ditujukan kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengatasi masalah keamanan dan krisis politik yang terjadi pada saat itu atau yang lebih dikenal dengan Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).
Supersemar memerintahkan kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan, ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPR demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik Indonesia. 
Sebagai pengemban Supersemar, Letjen Soeharto bertindak sebagai berikut :
a.   Pada tanggal 12 Maret 1966 dikeluarkan SK yang berisi pembubaran dan larangan PKI beserta dengan ormas-ormasnya. Diperkuat dengan Kepres/Pangti ABRI/Mandataris MPRS Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966
b.   Pada tanggal 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan lima belas orang menteri yang dinilai tersangkut dalam G30S/PKI dan diragukan etika baiknya, hal tersebut dituangkan dalam Kepres Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966.
c.   Pada tanggal 27 Maret 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Dwikora yang disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan dengan tokoh-tokoh yang tidak terlibat dalam G30S/PKI.
d.   Membersihkan lembaga legislative yang dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR GRyang diduga terlibat dalam G30S/PKI.
e.   Memisahkan jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR tidak lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsure-unsur G30S/PKI dan sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada lembaga kepresidenan.

Pada tanggal 20 Juni- 5 Juli 1966 mengadakan Sidang Umum IV dengan menghasilkan 24 ketetapan penting, antara lain:
a)   Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b)   Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah.
c)   Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Republik Indonesia Bebas Aktif.
d)   Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e)   Ketetapan MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
f)    Ketetapan MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS yang bertentangan dengan UUD 1945.
g)   Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
h)   Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormasnya sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia

Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS berarti landasan awal Orde Baru telah berhasil ditegakkan. Demikian pula dua dari tiga tritura juga telah terpenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan cabinet dari unsure-unsur PKI, sedangkan untuk tuntutan penurunan harga membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasinya.
Dengan dibentuknya Kabinet Ampera maka Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kemudian Letjen Soeharto pada tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera.
Berikut pertimbangan-pertimbangan yang mendasari:
a.   Keseluruhan pidato presiden yang berjudul Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak memenuhi harapan rakyat khususnya anggota-anggota MPRS karena tidak memuat secara jelas pertanggungjawaban tentang kebijakan presiden mengenai pemberontakan G30S/PKI, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
b.   Presiden telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966.

Selanjutnya Letjen Soeharto diambil sumpah dan dilantik sebagai pejabat presiden RI. Pada tanggal 12 Maret 1967 beradasarkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967, akhirnya kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI secara resmi berakhir. Pada tanggal 27 Maret 1968, MPRS mengangkat Letjen Soeharto sebagai presiden RI berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 sampai presiden baru hasil pemilihan umum ditetapkan. Dengan dilantiknya Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden RI, maka secara resmi terjadi pergantian dari masa Orde lama ke pemerintah yang baru (Orde Baru).


2. Kebijakan-Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
a.   Kebijakan-kebijakan Ekonomi
Pasca-Orde Lama, keadaan ekonomi Indonesia sangat parah. Utang Indonesia mencapai US$2,2-2,7 miliar. Untuk mengatasi pemerintah Indonesia berusaha meminta negara kreditur untuk menunda kembali pembayaran kembali utang Indonesia (rescheduling). Pada tanggal 19-20 September 1966 diadakan perundingan di Tokyo, Jepang. Perundingan tersebut disebut Tokyo Club. Dalam perundingan tersebut, pemerintahan Indonesia mengemukakan bahwa devisa ekspor untuk pembayaran utang dipakai untuk mengimpor bahan baku dan spare part sehingga keadaan ekonomi menjadi lebih baik, dan ditanggapi baik oleh Negara kreditur seperti Jepang, Prancis, Inggris,Italia, Jerman Barat,Belanda dan Amerika Serikat.
Kemudian diadakan perundingan lanjutan di Prancis (Prancis Club) dengan menghasilkan:
1)    Indonesia mendapatkan penangguhan pembayaran utang luar negerinya, yang seharusnya dibayar pada tahun 1968 menjadi ditangguhkan hingga kurun waktu tahun 1972-1978
2)    Utang-utang Indonesia yang jatuh tempo pada tahun 1969 dan 1970 jugs mendapat pertimbangan untuk ditunda dengan pemberian syarat-syarat yang  lunak dalam pelunasannya.
3)    Indonesia juga bergabung dalam instituti ekonomi internasional seperti World Bank (waktu itu bernama International Bank for Reconstruction and Development/IBRD), International Monetary Fund (IMF), International Development Agency (IDA), dan Asian Development Bank (ADB).
b.   Kebijakan Pembangunan Masa Orde Baru
Tujuan pembangunan nasional pada Masa Orde Baru adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Isi Trilogi Pembangunan:
1)    Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2)    Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3)    Stabilitas nasional yan sehat dan dinamis.
Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat bersaing di dunia internasional, pemerintahan Orde Baru mencanangkan sebuah program pembangunan jangka panjang yang bernama rencana pembangunan lima tahun (Rapelita). Rapelita ini terbagi dalam  pelaksanaan pembangunan lima tahun (pelita).
Sampai pada tanggal 31 Maret 1994, bangsa Indonesia telah berhasil menyelesaikan pembangunan lima tahun tahap ke-5 atau dikenal dengan nama Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama (PJTP I). Mulai tanggal 1 April 1994 bangsa Indonesia telah memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJTP II) yakni dimulainya Pelita VI.
Pelita-pelita yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru:
1)    Pelita I (1 April 1969-31 Maret 1974)
2)    Pelita II (1April 1974-31 Maret 1979)
3)    Pelita III (1April 1979-31 Maret 1984)
4)    Pelita IV (1April 1984-31 Maret 1989)
5)    Pelita V (1April 1989-31 Maret 1994)
6)    Pelita II (1April 1994-31 Maret 1999)

Pemilihan umum merupakan sarana untuk menegakkan demokrasi. Dengan melalui pemilu rakyat dapat menggunakan hak politiknya untuk memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk dalam lembaga perwakilan rakyat. Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak enam kali sebagai berikut.

1.   Pemilu Tahun 1971 (3 Juli 1971)
Pada pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan pada pemilu 1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
Pada pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Murba, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Golongan Karya (Golkar).
Pada pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak menggunakan hak pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.
Pemerintahan Orde Baru setelah pemilu 1971 melakukan penyederhanaan jumlah partai dengan tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan (fusi). Dalam penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan ideologi, tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial politik sebagai berikut.
a.     PPP, merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti.
b.     PDI, merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
c.     Golkar.
2.   Pemilu Tahun 1977 (2 Mei 1977)
Pada pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI. Pemilu ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99 kursi, dan PDI memperoleh 29 kursi.
3.   Pemilu Tahun 1982 (4 Mei 1982)
Pada pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat, tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil memperoleh tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5 kursi.
4.   Pemilu Tahun 1987 (23 April 1987)
Pada pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi), sedangkan Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
5.   Pemilu Tahun 1992 (9 Juni 1992)
Pada pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282 kursi, sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi 56 kursi.
6.   Pemilu Tahun 1997 (29 Mei 1997)
Hasil pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi 43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27 kursi, dan PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.
Penyelenggaraan pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang sebenarnya terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta tertentu, yaitu Golkar.
Dengan kemenangan Golkar yang selalu mencolok itu menguntungkan pemerintah. Golkar menguasai suara di MPR dan DPR dan itulah yang memungkinkan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Hal itu pula yang menyebabkan pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
d.   Kebijakan Sosial-Politik Orde Baru
Salah satu langkah yang dilakukan Soeharto dalam bidang politik adalah dengan melakukan fusi (penggabungan) partai politik. Fusi partai politik tersebut dilakukan pada tahun 1975 dengan berdasar pada UU No 3 Tahun 1975.
Proses fusi partai tersebut menghasilkan 3 partai besar, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (5 Januari 1973) yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI.Perti). Partai Demokrasi Indonesia (11 Januari 1973) yang terdiri dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI), dan Partai Murba. Partai Golongan Karya yang terdiri dari berbagai organisasi profesi.
3. Penataan Kembali Politik Luar Negeri Bebas Aktif
a.)     Indonesia Kembali Menjadi Anggota PBB
Pada tanggal 7 Januari 1965 Indoensia keluar dari keanggotaan PBB karena sebagai protes diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, sedangkan Indonesia pada saat itu sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Pada masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik luar negeri bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia kembali aktif menjadi anggota PBB dan turut serta dalam Sidang Majelis Umum PBB, Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan tercatat menjadi anggota PBB ke-60.
Manfaat yang diperoleh Indonesia semenjak menjadi anggota PBB, yaitu:
·         PBB turut berperan  dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949) dengan mengirimkan KTN dan UNCI.
·         PBB berjasa menyelesaikan masalah pengembalian Irian Barat ke RI dengan mengirim misi UNTEA.
·         PBB banyak memberikan bantuan dalam bidang ekonomi, social, dan budaya melalui organisasi (UNESCO, WHO, dll)
b.)     Normalisasi Hubungan Indonesia dengan Malaysia
Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah presiden Soekarno pada tanggal 3 Mei 1964 mengumukan Dwikora. Tindakan tersebut jelas menyimpang dari pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Upaya normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia dimulai dengan penyelenggaraan perundingan di Bangkok pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1966. Adam Malik sebagai perwakilan Indonesia dan Tun Abdul Razak sebagai perwakilan Malaysia.
Hasil persetujuan Bangkok :
·         Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan kembali untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
·         Pemerintah kedua belah pihak menyetujui pemulihan hubungan diplomatic.
·         Tindakan permusuhan diantara kedua pihak harus dihentikkan.
·         Pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta berlangsung peresmian normalisasi hubungan kedua Negara dengan ditandatangani Jakarta Accord.Indonesia juga telah memulihkan hubungan dengan Singapura.
c.)  Pembentukan ASEAN
Pada tanggal 8 Agustus 1967 dibentuk ASEAN dengan ditandatangani deklarasi ASEAN atau Deklarasi Bangkok oleh lima menteri luar negeri. Keanggotaan ASEAN terbuka bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sedangkan syarat menjadi anggota adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN. Sampai saat ini negara yang telah resmi bergabung menjadi anggota ASEAN berjumlah 11 negara.
d.)     Menguatnya Peran Negara pada Masa Orde Baru dan Dampaknya bagi Masyarakat
1.     Dampak dalam bidang politik
·         Adanya Pemerintah yang Otoriter
·         Dominasi Golkar
·         Pemerintah yang Sentralis
2.     Dampak dalam bidang ekonomi
·         Munculnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
·         Adanya kesenjangan ekonomi dan social
·         Konglomerasi
B.Indonesia pada Masa Awal Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengakhiri masa jabatannya sebagai presiden yang telah diembannya selama 32 tahun . Dengan Soeharto mengundurkan diri maka berakhirlah masa Orde Baru di Indonesia, dan lahirlah Masa Orde Reformasi.

1.   Kronologi Berakhirnya Kekuasaan Orde Baru
Munculnya Gerakan Reformasi
Reformasi merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama ketatanan perikehidupan baru yang lebih baik. Hasil dari perjuangan reformasi tidak dapat dipetik dalam waktu yang singkat tetapi membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil dari reformasi tersebut baru dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara bertahap, sehingga perlu adanya agenda reformasi untuk memprioritaskan mana yang harus lebih dulu dilaksanakan. Kontrol terhadap reformasi perlu dilakukan, agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasaranya, karena reformasi yang tidak terkendali akan kehilangan arah dan bahkan cenderung melanggar norma-norma hukum, sehingga tidak membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan masyarakat Indonesia.
Menurunnya pamor pemerintah Orde Baru telah dimulai sejak adanya perjanjian pemberian dana bantuan IMF pada tahun 1997, perjanjian pertama setelah terjadinya krisis moneter Asia bulan Oktober 1997. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya mengandung 2 kelemahan bagi Indonesia. Kelemahan pertama terletak pada posisi dana bantuan. Pemberian dana bantuan yang diturunkan IMF di sini adalah utang luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan bunganya, meskipun dengan presentase yang rendah. Kelemahan kedua adalah adanya penerapan Structual Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) dari IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Structual Adjustment Program adalah persyaratan IMF bagi indonesia dalam 4 bidang utama ( pengetatan kebijakan fiskal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan memerintahkakn bank sentral untuk menaikkna tingkat suku bunga). Perjanjian kedua dengan IMF ditantatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Syarat yang ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi rakyat dan menghapus praktik monopoli serta penghapusan segala bentuk subsidi  usahha nasional yang diberikan oleh pemerintah. Persyaratan IMF ini membawa Indonesia pada keterpurukan ekonomi yang lebih dalam.
Dengan situasi politik dan ekonomi indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintahan orde baru tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, kemudian muncul gerakan reformasi yang bertujuan untuk memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat yang dipelopori oleh para mahasiswa.
Tujuan reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Berikut adalah faktor pendorong terjadinya gerakan reformasi.
a.)   Faktor politik, meliputi:
·         Adanya KKN dalam kehidupan pemerintahan.
·         Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan KKN.
·         Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto otoriter tertutup.
·         Adanya keinginan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa.
·         Mahasiswa menginginkan perubahan.
b.)   Faktor ekonomi, meliputi:
·         Adanya krisis mata uang Rupiah.
·         Naiknya harga barang-barang kebutuhan masyarakat.
·         Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan pokok.
c.)   Faktor sosial masyarakat, seperti asanya kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Juni 1998 yangmelumpuhkan perekonomian rakyat.
d.)   Faktor hukum, belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga negara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan mahasiswa adalah:
1)    Mengadili Soeharto dan kroni-kroninya
2)    Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
3)    Menghapus dwifungsi ABRI dalam struktur pemerintahan
4)    Penegakan supremasi hokum di Indonesia
5)    Menegakkan pemerintahan yang bersih dari unsur-unsur KKN
6)    Otonomi daerah yang seluas-luasnya
Tujuan Reformasi adalah terciptanya kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kronologi Pengunduran Diri Soeharto dari Kursi Kepresidenan
            Menanggapi kondisi perekonomian yang semakin para,   mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk turun kejalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Berbagai aksi-aksi yang digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan semenjak bulan Februari 1998, dan mencapai puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998, berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi damai menuntut penurunan harga di Jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi. Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang sedang bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi, situasi kemudian memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin melakukan long march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh oleh para petugas. Mereka diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti. Didalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai pahlawan reformasi.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa inii mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di bebagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama Moses Gatotkaca juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca meninggal pada 8 Mei 1998. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis berupa penjarahan dan penganiayaan menjalar luas di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang berada di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi banyak kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai ratusan. Sebagian besar karena terperangkap di dalam toko-toko yang dibakar paksa oleh para oknum-oknum pelaku kerusuhan. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi Indonesia. Krisis sosial dan masyarakatpun mulai bermunculan seiring dengan adanya gesekan sosial tersebut.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini terus berlangsung hingga digelarnya aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 Mei 1998. Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998, Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara. Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang. Mereka adalah Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidlowi, Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan mengubah nama susunan kabinet Reformasi. Sedangkan, berdasarkan pidatonya beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar, Presiden Soeharto juga menyatakan tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi menurut beliau dalam pidato ini adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan lainnya.
Masuk ketanggal 20 Mei 1998, suasana di gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaandengan pidato Presiden Soeharto tersebut.penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden Soeharto meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum secara kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam pidato beliau selepas pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi, Soeharto dari kursi kepresidenan pada saat itu. Emil Salim, melalui Gema Madani menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon (turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin Rais juga berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan secepatnya.
Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi negara yang sangat tegang pada saat itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan yang besar dan mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan, pengamanan di seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya, pada tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan aksi di Monas tersebut.
Sementara, kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR. Mahasiswa pun memutuskan untuk memusatkan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional di Halaman gedung MPR/DPR. Aksi pada tanggal 20 Mei 1998 ini dihari oleh barbagai tokoh-tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung MPR/DPR. Selanjutnya hadir pula tokoh-tokoh masyarakat seperti Deliar Noer, Emil Salim, Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana, A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil dan Wimar Witoelar. Bahkan, tokoh-tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Warkop, Garin Nugroho dan Neno Warisman.
Aksi ini secara sporadis memunculkan dukungan moral dari seluruh elemen bangsa. Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada mahasiswa yang sedanga berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini merupakan simbol bahwa perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil memunculkan solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan pernyataannya yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan Albright ini disiarkan secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48 WIB. Ia menyatakan bahwa penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan yang semestinya untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Seoharto untuk menorehkan langkah historisnya sebagai negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah 14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi. Mahasiswa secara bersama masih terus melakukan aksinya di gedung MPR/DPR. Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan antara perwakilan mahasiswa dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR. Di dalam pertemuan ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada hari Senin tanggal  25 Mei 1998 pimpinan DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room, Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Soeharto mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama 32 tahun. Naskah pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.
2.Perkembangan Kehidupan Bangsa Indonesia pada Awal Masa Reformasi
1)   Presiden B.J Habibie
Pada tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie sesuai dengan yang tertera pada UUD1945 untuk menggantikannya menjadi presiden, serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya. Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie sebagai presiden yang ke-3.
Naiknya Habibie menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada juga yang berpendapat inkonstitusional. Adanya perbedaan pendapat itu disebabkan karena hukum yang kita miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie menjadi presiden konstitusional, berpegang pada Pasal 8 UUD 1945 yang menyatakan bahwa "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Tetapi yang menyatakan bahwa naiknya Habibie sebagai presiden yang inkonstitusional berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa "Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR". Sementara, Habibie tidak melakukan hal itu dan ia mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah Agung dan personil MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan.
Dalam ketentuan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan bahwa sumpah dam janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat Habibie menerima jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden dapat dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih diduduki dan dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya mengembalikan dulu mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.
Apabila dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang konstitusional. Apabila perbuatan hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak konstitusional, maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Pada saat itu memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena Gedung DPR/MPR diduduki oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan demikian, hal ini dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan sendiri oleh DPR.[1]
Habibie yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu, langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi krisis ekonomi dan politik. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie sangat berhati-hati terutama dalam pengelolaannya, sebab dampak yang ditimbulkannya dapat mengancam integrasi bangsa. Untuk menjalankan pemerintahan, presiden habibie tidak mungkin dapat melaksanaknnya sendiri tanpa dibantu oleh menteri-menteri  dan kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie membentuk kabinet.
Pada tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998 diselenggarakan pertemuan pertama kabinet habibie. Pertemuan ini berhasil membentuk Komite untuk merancang undang-undang politik yang lebih longgar dalam waktu satu tahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan presiden yaitu maksimal 2 periode (satu periode lamanya 5 tahun). Upaya terebut mendapat sambutan positif, tetapi dedakan agar pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda reformasi tetap muncul.            
Pembaharuan yang dilakukan oleh B.J. Habibie antara lain:
1.)  Bidang Ekonomi
            Untuk menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, B.J. Habibie melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
§   Merekapitulasi perbankan
§   Melikuidasi beberapa bank yang bermasalah.
§   Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
§   Mengimplementasikan reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
§   Merekonstruksi perekonomian Indonesia.

2.)   Bidang Politik
            Memberi kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak bermunculan partai-partai politik yang baru sebanyak 45 parpol.
Membentuk tiga undang-undang demokratis yaitu, (1)  UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik (2)  UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu (3)  UU No. 4 tahun 1999 tentang Susduk DPR/MPR
Menetapkan 12 ketetapan MPR dan ada 4 ketetapan yang mencerminkan jawaban dari tuntutan reformasi yaitu:
Ø  Tap No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Ø  Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. II/MPR/1978 tentang Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
Ø  Tap No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. V/MPR/1998 tentang Presiden Mendapat Mandat dari MPR untuk Memiliki Hak-Hak dan Kebijakan di Luar Batas Perundang-undangan.
Ø  Tap No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Maksimal Hanya Dua Kali Periode.
4.)   Bidang Hukum
            Untuk melakukan refomasi hukum, ada beberapa hal yang dilakukan dalam pemerintahan B.J. Habibie yaitu, a)     Melakukan rekonstruksi atau pembongkaran watak hukum Orde Baru, baik berupa Undang-Undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri. b)    Melahirkan 69 Undang-undang. c)     Penataan ulang struktur kekuasaan Kehakiman. 
5.)   Kebebasan Menyampaikan Pendapat
            Presiden B.J. Habibie memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di depan umum, baik dalam rapat maupun unjuk rasa. Dan mengatasi terhadap pelanggaran dalam penyampaian pendapat ditindak dengan UU No. 28 tahun 1998.

6.)   Masalah Dwifungsi ABRI
            Ada beberapa perubahan yang muncul pada pemerintahan B.J. Habibie, yaitu :
      Jumlah anggota ABRI yang duduk di kursi MPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 35 orang
      Polri memisahkan diri dari TNI dan menjadi Kepolisian Negara
      ABRI diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Udara, Darat,  dan Laut.
7.)    Pemilihan Umum 1999
            MPR yang terbentuk melalui hasil pemilu 1999 berhasil menetapkan GBHN, melakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945, serta presiden dan wakil presiden. Pada tanggal 20 Oktober 1999 MPR berhasil memilih K.H. Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat RI dan sehari kemudian memilih Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden.

2)      Presiden K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam menjalankan pemerintahan, K.H. Abdurrahman Wahid didampingi wakilnya Megawati Soekarno Putri . K.H. Abdurrahman Wahid adalah seorang santri tradisional yang memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan.
Pasangan K.H. Abdurrahman Wahid-Megawati membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. K.H. Abdurrahman Wahid juga membentuk Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertujuan untuk memperbaiki ekonomi yang belum pulih akibat krisis yang berkepanjangan.

3)      Presiden Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarno Putri (Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dilantik sebagai presiden ke-5 pada tanggal 21 Juli 2001. Dalam menjalankan tugasnya Megawati Soekarnoputri didampingi oleh wakilnya Hamzah Haz.  Kabinet Megawati Soekarnoputri bernama Kabinet Gotongroyong.
Presiden Megawati Soekarnoputri merupakan peletak dasar ke arah Negara yang demokratis, karena telah berhasil melaksanakan pemilu 2004 dengan aman dan damai. Untuk pertamakalinya pada pemilu tersebut presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4)      Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Pada tanggal 20 Oktober 2004 Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden ke-6. Dalam menjalankan tugasnya Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh wakilnya Jusuf Kala.  Kabinet Susilo Bambang Yudhoyono bernama Kabinet Indonesia Bersatu yang anggotanya dilantik pada tanggal 21 Oktober 2004.
Pada pemilu tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu dan terpilih kembali menjadi presiden yang ke-7 didampingi oleh Budiono. Kabinet yang digunakan adalah Indonesia Bersatu II dan dilantik pada 22 Oktober 2009.

5)   Presiden Joko Widodo
Pada pemilu tahun 2014 Joko Widodo terpilih sebagai presiden yang ke-8 didampingi oleh Jusuf Kala. Pada tanggal 26 Oktober 2014 Joko Widodo dilantik menjadi presiden.
Pada tanggal 26 Oktober 2014 presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinetnya di Istana Negara. Kabinet tersebut bernama Kabinet Kerja. Sehari setelah pengumuman, Kabinet Kerja dilantik.

C. Perubahan Politik dan Ketatanegaraan Indonesia
1.   Pemilihan Umum Tahun 1999
Pemilu pertama setelah reformasi bergulir diselenggaraka pada tanggal 7 Juni 1999. Pemilu ini dianggap paling demokratis disbanding pemilu-pemilu sebelumnya, dilaksanakan dengan luber dan jurdil.
Dalam rangka persiapan tersebut, Presiden B.J Habibie mencabut UU pemilu yang dipakai pada masa Orde Baru, dan sebagai gantinya ditetapkan 3 UU politik baru yang ditandatangani pada tanggal 1 Februari 1999. Isi tiga UU tersebut mengenai partai politik, proses pemilihan umum, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPRD. Hanya 48 partai yang lolos untuk melaju dalam pemilihan umum 7 Juni 1999 dan 112 partai yang mendaftar ke Departemen Dalam Negeri. Adapun panitia yang harus menyaring partai-partai tersebut adalah panitia 11. Sistem pemilu ini diatur dalam UU No 3 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa peraturan pemilu bersifat campuran antara system proposional dan system distrik.
Pelaksanaan pemilu 1999 sudah ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi Lembaga Pemilihan Umum (LPU).
2.Pemilihan Umum Tahun 2004
Dilaksanakan melalui beberapa tahap, yaitu:
·         Tahap pertama (pemilu legislatif) dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pada tahap ini untuk memilih para calon legislative mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
·         Tahap kedua (pemilu presiden putaran pertama) dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004. Pada tahap ini untuk memilih pasangan calon presiden dan calon wakil presiden secara langsung.
·         Tahap ketiga (pemilu presiden putaran kedua) dilaksanakan pada tanggal 24 September 2004. Pada tahap ini dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kala untuk periode 2004-2009.
3.Pemilihan Umum Tahun 2009
Pada pemilihan tahun 2009 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang Yodhoyono-Budiono.
4.Pemilihan Umum Tahun 2014
Pada pemilihan tahun 2014 ini dimenangkan oleh pasangan JokoWidodo-Jusuf Kala.
5.Dampak Reformasi
Reformasi telah mengubah kondisi pemerintahan di Indonesia, perubahan tersebut dapat terlihat pada amanndemen UUD 1945. UUD 1945 harus diamandemen karena setiap generasi pasti mengalami perubahan. Masalah yang dihadapi pun semakin banyak dan kompleks, sehingga tidak mungkin menggunakan undang-undang yang sama.
Amandemen tersebut membawa banyak pengaruh besar dalam tata pemerintahan Indonesia. Kini peran lembaga-lembaga pemerintahan lebih proporsional, pemerintahan mulai berjalan secara transparan dan control terhadap kinerja mereka lebih ketat. Bahkan, rakyat mulai aktif mengkritisi kinerja pemerintah.
Beberapa perubahan tersebut memebawa pengaruh dalam kehidupan masyarakat antara lain, sebagai berikut :
      Kebebasan berekspresi dan berpartisipasi rakyat dilindungi oleh UUD 1945 sehingga rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya.
      DPR tidak lagi berperan hanya sebagai lembaga yang mengikuti kemauan presiden, tetapi menjadi lembaga yang sangat ketat mengontrol kekuasaan presiden.
      Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat sehingga mereka memiliki legitimasi yang kuat, tidak sekedar menajalankan kehendak MPR
      Dibentuknya lembaga-lembaga baru untuk meningkatkan kinerja pengelolaan negara.
Dampak reformasi juga terlihat dari munculnya lembaga-lembaga yang menyuarakan aspirasi untuk menyelidiki dan mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia. Banyak kasus seperti korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan yang terjadi pada masa Orde Baru sampai pada masa  Orde Reformasi. Oleh karena itu, sebagai sebuah momen untuk menyampaikan aspirasi, masa reformasi menjadi otoritas bagi lembaga-lembaga penyelidik untuk menyelidiki kasus-kasus pelanggaran, khususnya korupsi , hokum dan HAM.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

0 komentar:

Posting Komentar