kehidupan
politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal
Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan
ketatanegaraan Indonesia
3.11
Mengevaluasi perkembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa Indonesia pada
masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan mahasiswa dan pemuda
dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia
4.11
Mengolah informasi tentang pekembangan kehidupan politik dan ekonomi Bangsa
Indonesia pada masa Orde Baru sampai dengan awal Reformasi, serta peranan
mahasiswa dan pemuda dalam perubahan politik dan ketatanegaraan Indonesia
A. Indonesia pada Masa Orde Baru
1. Lahirnya
Pemerintahan Orde Baru
Orde
Baru adalah suatu tatanan seluruh peri kehidupan rakyat, bangsa, dan negara
yang diletakkan kembali kepada pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
Orde
Baru lahir setelah di keluarkannya supersemar, yang hadir dengan “koreksi
total” atas penyimpangan yang dilakukan oleh Orde Lama. Pemerintahan Orde Baru
dipimpin oleh Presiden Soeharto sejak tahun 1967-1998.
Usaha
untuk penumpasan terhadap PKI dilakukan oleh banyak pihak, meliputi pemerintah
dan masyarakat. Pada tanggal 8 Januari 1966 muncul kesatuan-kesatuan aksi untuk
menentang G30S/PKI dengan agenda utamanya menuntut perbaikan terhadap kebijakan
ekonomi Indonesia yang bergabung dalam Front Pancasila dan dikenal dengan sebutan angkatan ’66,
meliputi:
Ø Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI)
Ø Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia (KAPI)
Ø Kesatuan
Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI)
Ø Kesatuan
Aksi Sarjana Indonesia (KASI)
Ø Pada
tanggal 12 Januari 1966 berbagai kesatuan aksi yang bergabung dalam Front
Pancasila berkumpul di halaman gedung DPR GR untuk mengajukan tri tuntutan
rakyat (tritura). Isi tritura :
·
Pembubaran PKI beserta organisasi masanya
·
Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsure PKI
·
Penurunan harga-harga barang
Pada tanggal 15 Januari 1966 diadakan Sidang
Paripurna Kabinet Dwikora di Istana Bogor untuk menghadapi berbagai tuntutan
dari berbagai masyarakat yang dihadiri oleh para wakil mahasiswa. Presiden
Soekarno menuduh bahwa aksi-aksi mahasiswa didalangi oleh CIA Amerika Serikat.
Akhirnya tuntutan mengenai perombakan cabinet dikabulkan dan pada tanggal 21
Januari 1966 Presiden Soekarno mengumumkan perubahan cabinet. Namun perubahan cabinet tersebut tidak
memuaskan hati rakyat karena banyak tokoh yang terlibat dalam G30S/PKI berada
dalam cabinet baru tersebut (Kabinet Seratus Menteri) Pada tanggal 24 Februari
1966 saat pelaksanakan pelantikan cabinet banyak mahasiswa, pelajar dan pemuda
memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Namun, aksi itu dihadang Pasukan
Cakrabirawa sehingga terjadilah bentrokan hingga menyebabkan gugurnya seorang
mahasiswa dari Universitas Indonesia yang bernama Arief Rachman Hakim. Oleh
para demonstran, Arief Rachman Hakim dijadikan sebagai Pahlawan Ampera.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 pascaperistiwa
G30S/PKI terjadi ketidaksepakatan antara Presiden Soekarno dengan Letjen
Soeharto mengenai penyelesaian krisis politik yg terjadi di Indonesia pada saat
itu. Letjen Soeharto berpendapat bahwa satu-satunya langkah keluar untuk
meredakan krisis dalam negeri adalah menumpas PKI beserta antek-anteknya dengan
cara tersebut maka rasa keamanan dan keadilan akan terpenuhi. Sedangkan
Soekarno berpendapat bahwa tidak mungkin membubarkan PKI karena akan
menimbulkan inkonsistensi terhadap pelaksanaan prinsip Nasakom (nasionalis-
agamis- komunis) yang telah menjadi dasar pemikiran politik Indonesia pada masa
itu.
Akhirnya pada tanggal 10 Maret 1966,
Presiden Soekarno mengadakan pertemuan yang dihadiri oleh berbagai partai
politik, seperti PSII, NU, PI.Perti, Partai Katholik, Parkindo, Muhammadiyah,
PNI, Partindo, IPKI, dan Front Pancasila.
Dalam pertemuan tersebut Presiden Soekarno
didampingi A.M. Hanafi, dr. Soemarno, Dr. Soebandro,Dr. J Leimena, Mayjen
Achmad, dan Dr. Chaerul Saleh. Presiden Soekarno menyatakan pendapatnya dan
menekankan agar partai-partai politik serta berbagai organisasi masa yang hadir
pada waktu itu menolak dan mengecam aksi demonstrasi mahasiswa dengan tuntutan
trituranya.
Pada tanggal 11 Maret 1966, digelar sidang
paripurna yang agendanya merumuskan langkah langkah keluar dari krisis ekonomi,
social, dan politik Indonesia.Di tengah-tengah pidatonya, Presiden Soekarno
diberi tahuoleh Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur bahwa ada konsentrasi pasukan tidak dikenal
di luar istana. Presiden Soekarno kemudian pergi ke Istana Bogor didampingi
oleh Dr. Soebandrio (Waperdam I) dan Dr. Chairul Saleh (Waperdam III). Kemudian
Dr. J. Leimena (Waperdam II) menutup rapat dan menyusul ke Istana Bogor.
Diikuti dengan para perwira tinggi AD yaitu
Mayjen Basuki Rahmat, Brigjen Amir Mahmud, dan Brigjen M. Yusuf juga
menyusul, namun sebelumnya mereka menghadap Letjen Soeharto dan melaporkan
tentang keadaan siding cabinet dan meminta izin untuk menemui Presiden di
Istana Bogor untuk melaporkan situasi yang sebenarnya di Jakarta bahwa tidak
benar ada pasukan liar di sekitar istana dan ABRI khususnya TNI AD tetap setia
dan taat kepada Presiden Soekarno.
Presiden mengizinkan ketiga perwira tinggi
tersebut untuk pergi ke Istana Bogor dan berpesan bahwa Letjen Soeharto
bersedia dan sanggup mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno mempercayakan
hal tersebut kepadanya.
Di Istana Bogor Presiden Soekarno
memerintahkan kepada ketiga perwira tinggi bersama Komandan Cakrabirawa Brigjen
Sabur untuk merancang sebuah konsep surat perintah yang ditujukan kepada Letjen
Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengatasi masalah keamanan dan
krisis politik yang terjadi pada saat itu atau yang lebih dikenal dengan Surat
Perintah 11 Maret (Supersemar).
Supersemar memerintahkan kepada Letjen
Soeharto agar mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk menjamin keamanan,
ketenangan dan kestabilan jalannya pemerintahan, serta menjamin keselamatan
pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar
Revolusi/Mandataris MPR demi untuk keutuhan bangsa dan Negara Republik
Indonesia.
Sebagai
pengemban Supersemar, Letjen Soeharto bertindak sebagai berikut :
a. Pada
tanggal 12 Maret 1966 dikeluarkan SK yang berisi pembubaran dan larangan PKI
beserta dengan ormas-ormasnya. Diperkuat dengan Kepres/Pangti ABRI/Mandataris
MPRS Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966
b. Pada
tanggal 18 Maret 1966 Letjen Soeharto mengamankan lima belas orang menteri yang
dinilai tersangkut dalam G30S/PKI dan diragukan etika baiknya, hal tersebut
dituangkan dalam Kepres Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966.
c. Pada
tanggal 27 Maret 1966 Letjen Soeharto membentuk Kabinet Dwikora yang
disempurnakan untuk menjalankan pemerintahan dengan tokoh-tokoh yang tidak
terlibat dalam G30S/PKI.
d. Membersihkan
lembaga legislative yang dimulai dari tokoh-tokoh pimpinan MPRS dan DPR GRyang
diduga terlibat dalam G30S/PKI.
e. Memisahkan
jabatan pimpinan DPR GR dengan jabatan eksekutif sehingga pimpinan DPR GR tidak
lagi diberi kedudukan sebagai menteri. MPRS dibersihkan dari unsure-unsur
G30S/PKI dan sesuai dengan UUD 1945, MPRS mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
daripada lembaga kepresidenan.
Pada tanggal 20 Juni- 5 Juli 1966 mengadakan
Sidang Umum IV dengan menghasilkan 24 ketetapan penting, antara lain:
a) Ketetapan
MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengesahan dan Pengukuhan Supersemar.
b) Ketetapan
MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Lembaga-Lembaga Negara Tingkat Pusat
dan Daerah.
c) Ketetapan
MPRS Nomor XII/MPRS/1966 tentang Kebijakan Politik Luar Negeri Republik
Indonesia Bebas Aktif.
d) Ketetapan
MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Pembentukan Kabinet Ampera.
e) Ketetapan
MPRS Nomor XV/MPRS/1966 tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata
Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
f) Ketetapan
MPRS Nomor XIX/MPRS/1966 tentang Peninjauan Kembali Ketetapan MPRS yang
bertentangan dengan UUD 1945.
g) Ketetapan
MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata
Urutan Perundang-Undangan di Indonesia.
h) Ketetapan
MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran PKI dan Pernyataan PKI dan Ormasnya
sebagai Organisasi Terlarang di Indonesia
Dengan berakhirnya Sidang Umum IV MPRS
berarti landasan awal Orde Baru telah berhasil ditegakkan. Demikian pula dua
dari tiga tritura juga telah terpenuhi, yaitu pembubaran PKI dan pembersihan
cabinet dari unsure-unsur PKI, sedangkan untuk tuntutan penurunan harga
membutuhkan waktu yang lama untuk mengatasinya.
Dengan dibentuknya Kabinet Ampera maka
Presiden Soekarno membubarkan Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Kemudian
Letjen Soeharto pada tanggal 25 Juli 1966 membentuk Kabinet Ampera.
Berikut pertimbangan-pertimbangan yang
mendasari:
a. Keseluruhan
pidato presiden yang berjudul Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara tidak memenuhi
harapan rakyat khususnya anggota-anggota MPRS karena tidak memuat secara jelas
pertanggungjawaban tentang kebijakan presiden mengenai pemberontakan G30S/PKI,
kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
b. Presiden
telah menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada pengemban Ketetapan MPRS Nomor
IX/MPRS/1966.
Selanjutnya
Letjen Soeharto diambil sumpah dan dilantik sebagai pejabat presiden RI. Pada
tanggal 12 Maret 1967 beradasarkan Ketetapan Nomor XXXIII/MPRS/1967, akhirnya
kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI secara resmi berakhir. Pada tanggal 27
Maret 1968, MPRS mengangkat Letjen Soeharto sebagai presiden RI berdasarkan
Ketetapan MPRS Nomor XLIV/MPRS/1968 sampai presiden baru hasil pemilihan umum
ditetapkan. Dengan dilantiknya Letjen Soeharto sebagai pejabat presiden RI,
maka secara resmi terjadi pergantian dari masa Orde lama ke pemerintah yang
baru (Orde Baru).
2.
Kebijakan-Kebijakan Pemerintahan Orde Baru
a. Kebijakan-kebijakan
Ekonomi
Pasca-Orde Lama, keadaan
ekonomi Indonesia sangat parah. Utang Indonesia mencapai US$2,2-2,7 miliar.
Untuk mengatasi pemerintah Indonesia berusaha meminta negara kreditur untuk
menunda kembali pembayaran kembali utang Indonesia (rescheduling). Pada tanggal
19-20 September 1966 diadakan perundingan di Tokyo, Jepang. Perundingan
tersebut disebut Tokyo Club. Dalam perundingan tersebut, pemerintahan Indonesia
mengemukakan bahwa devisa ekspor untuk pembayaran utang dipakai untuk mengimpor
bahan baku dan spare part sehingga keadaan ekonomi menjadi lebih baik, dan
ditanggapi baik oleh Negara kreditur seperti Jepang, Prancis, Inggris,Italia,
Jerman Barat,Belanda dan Amerika Serikat.
Kemudian diadakan perundingan lanjutan di
Prancis (Prancis Club) dengan menghasilkan:
1) Indonesia
mendapatkan penangguhan pembayaran utang luar negerinya, yang seharusnya
dibayar pada tahun 1968 menjadi ditangguhkan hingga kurun waktu tahun 1972-1978
2)
Utang-utang Indonesia yang jatuh tempo pada
tahun 1969 dan 1970 jugs mendapat pertimbangan untuk ditunda dengan pemberian
syarat-syarat yang lunak dalam
pelunasannya.
3)
Indonesia juga bergabung dalam instituti
ekonomi internasional seperti World Bank (waktu itu bernama International Bank
for Reconstruction and Development/IBRD), International Monetary Fund (IMF),
International Development Agency (IDA), dan Asian Development Bank (ADB).
b. Kebijakan
Pembangunan Masa Orde Baru
Tujuan pembangunan nasional pada Masa Orde
Baru adalah mewujudkan masyarakat adil dan makmur secara materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Isi
Trilogi Pembangunan:
1) Pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
2)
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
3) Stabilitas
nasional yan sehat dan dinamis.
Untuk
mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat bersaing di dunia
internasional, pemerintahan Orde Baru mencanangkan sebuah program pembangunan
jangka panjang yang bernama rencana pembangunan lima tahun (Rapelita). Rapelita
ini terbagi dalam pelaksanaan
pembangunan lima tahun (pelita).
Sampai
pada tanggal 31 Maret 1994, bangsa Indonesia telah berhasil menyelesaikan
pembangunan lima tahun tahap ke-5 atau dikenal dengan nama Pembangunan Jangka
Panjang Tahap Pertama (PJTP I). Mulai tanggal 1 April 1994 bangsa Indonesia
telah memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua (PJTP II) yakni
dimulainya Pelita VI.
Pelita-pelita yang dilaksanakan oleh
pemerintah Orde Baru:
1) Pelita
I (1 April 1969-31 Maret 1974)
2)
Pelita II (1April 1974-31 Maret 1979)
3)
Pelita III (1April 1979-31 Maret 1984)
4)
Pelita IV (1April 1984-31 Maret 1989)
5)
Pelita V (1April 1989-31 Maret 1994)
6) Pelita
II (1April 1994-31 Maret 1999)
Pemilihan umum merupakan sarana untuk
menegakkan demokrasi. Dengan melalui pemilu rakyat dapat menggunakan hak
politiknya untuk memilih calon-calon wakilnya yang akan duduk dalam lembaga
perwakilan rakyat. Pemilu pada masa Orde Baru dilaksanakan sebanyak enam kali
sebagai berikut.
1. Pemilu
Tahun 1971 (3 Juli 1971)
Pada
pemilu tahun 1971 sangat berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 karena para
pejabat negara pada pemilu tahun 1971 diharuskan bersikap netral, sedangkan
pada pemilu 1955 para pejabat negara yang berasal dari partai peserta pemilu
dapat ikut menjadi calon partai secara formal.
Pada
pemilu ini diikuti oleh sepuluh peserta yang terdiri atas Partai Serikat Islam
Indonesia (PSII), Nahdatul Ulama (NU), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Murba, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Indonesia (PI. Perti), Partai Katolik,
Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan
Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Golongan Karya
(Golkar).
Pada
pemilu ini dimenangkan oleh Golkar dan sejak pemilu ini pula ABRI mulai
memainkan 2 peranan yang penting dalam pemerintahan Orde Baru, seperti menjadi
anggota dewan melalui jalur pengangkatan. Oleh karena itu, ABRI tidak
menggunakan hak pilihnya lagi seperti pada pemilu pertama tahun 1955.
Pemerintahan
Orde Baru setelah pemilu 1971 melakukan penyederhanaan jumlah partai dengan
tidak menghapus partai tertentu, tetapi melakukan penggabungan (fusi). Dalam
penggabungan tersebut, sistem kepartaian tidak lagi didasarkan ideologi, tetapi
atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial
politik sebagai berikut.
a. PPP,
merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan PI. Perti.
b.
PDI, merupakan fusi dari PNI, Partai
Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo.
c.
Golkar.
2. Pemilu
Tahun 1977 (2 Mei 1977)
Pada
pemilu tahun 1977 hanya diikuti oleh tiga peserta yaitu PP, Golkar dan PDI.
Pemilu ini dimenangkan Golkar dengan memperoleh 232 kursi, PPP memperoleh 99
kursi, dan PDI memperoleh 29 kursi.
3. Pemilu
Tahun 1982 (4 Mei 1982)
Pada
pemilu ini perolehan suara dan kursi dari Golkar secara nasional meningkat,
tetapi gagal merebut kemenangan di Aceh. Secara nasional, Golkar berhasil
memperoleh tambahan 10 kursi, sedangkan PPP dan PDI kehilangan masing-masing 5
kursi.
4. Pemilu
Tahun 1987 (23 April 1987)
Pada
pemilu ini ditandai dengan merosotnya suara PPP (kehilangan 33 kursi),
sedangkan Golkar memperoleh tambahan 53 kursi sehingga menjadi 299 kursi.
5. Pemilu
Tahun 1992 (9 Juni 1992)
Pada
pemilu ini perolehan suara Golkar menurun, yaitu dari 299 kursi menjadi 282
kursi, sedangkan PPP naik 1 kursi (menjadi 62 kursi) dan PDI meningkat menjadi
56 kursi.
6. Pemilu
Tahun 1997 (29 Mei 1997)
Hasil
pemilu ini Golkar kembali merebut suara mayoritas. Kursinya bertambah menjadi
43 kursi dari hasil pemilu sebelumnya. Suara PPP juga mengalami peningkatan 27
kursi, dan PDI yang mengalami konflik internal perolehan suaranya merosot.
Penyelenggaraan
pemilu yang teratur pada masa Orde Baru menimnulkan kesan bahwa demokrasi di
Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan
dijiwai oleh asas luber (langsung, umum, bebas dan rahasia). Namun, yang
sebenarnya terjadi, pemilu agaknya sudah diarahkan untuk kemenangan peserta
tertentu, yaitu Golkar.
Dengan kemenangan Golkar yang selalu
mencolok itu menguntungkan pemerintah. Golkar menguasai suara di MPR dan DPR
dan itulah yang memungkinkan Soeharto menjadi presiden Republik Indonesia
selama enam periode pemilihan. Hal itu pula yang menyebabkan
pertanggungjawaban, rancangan undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah
selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.
d. Kebijakan
Sosial-Politik Orde Baru
Salah
satu langkah yang dilakukan Soeharto dalam bidang politik adalah dengan
melakukan fusi (penggabungan) partai politik. Fusi partai politik tersebut
dilakukan pada tahun 1975 dengan berdasar pada UU No 3 Tahun 1975.
Proses
fusi partai tersebut menghasilkan 3 partai besar, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (5 Januari 1973) yang terdiri dari NU, Partai Muslimin Indonesia,
Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah
Indonesia (PI.Perti). Partai Demokrasi Indonesia (11 Januari 1973) yang terdiri
dari Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo),
Partai Katholik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI), dan Partai
Murba. Partai Golongan Karya yang terdiri dari berbagai organisasi profesi.
3.
Penataan Kembali Politik Luar Negeri Bebas Aktif
a.) Indonesia
Kembali Menjadi Anggota PBB
Pada
tanggal 7 Januari 1965 Indoensia keluar dari keanggotaan PBB karena sebagai
protes diterimanya Federasi Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB, sedangkan Indonesia pada saat itu sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Pada
masa Orde Baru, politik luar negeri Indonesia dikembalikan lagi pada politik
luar negeri bebas aktif sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Indonesia kembali
aktif menjadi anggota PBB dan turut serta dalam Sidang Majelis Umum PBB,
Indonesia kembali menjadi anggota PBB pada tanggal 28 September 1966 dan
tercatat menjadi anggota PBB ke-60.
Manfaat yang diperoleh Indonesia semenjak
menjadi anggota PBB, yaitu:
·
PBB turut berperan dalam penyelesaian konflik Indonesia-Belanda
pada masa Perang Kemerdekaan (1945-1949) dengan mengirimkan KTN dan UNCI.
·
PBB berjasa menyelesaikan masalah
pengembalian Irian Barat ke RI dengan mengirim misi UNTEA.
·
PBB banyak memberikan bantuan dalam bidang
ekonomi, social, dan budaya melalui organisasi (UNESCO, WHO, dll)
b.) Normalisasi
Hubungan Indonesia dengan Malaysia
Indonesia
melakukan konfrontasi dengan Malaysia setelah presiden Soekarno pada tanggal 3
Mei 1964 mengumukan Dwikora. Tindakan tersebut jelas menyimpang dari
pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif. Upaya normalisasi hubungan
Indonesia-Malaysia dimulai dengan penyelenggaraan perundingan di Bangkok pada
tanggal 29 Mei-1 Juni 1966. Adam Malik sebagai perwakilan Indonesia dan Tun
Abdul Razak sebagai perwakilan Malaysia.
Hasil persetujuan Bangkok :
·
Rakyat Sabah dan Serawak diberi kesempatan
kembali untuk menegaskan kembali keputusan yang telah mereka ambil mengenai
kedudukan mereka dalam Federasi Malaysia.
·
Pemerintah kedua belah pihak menyetujui
pemulihan hubungan diplomatic.
·
Tindakan permusuhan diantara kedua pihak
harus dihentikkan.
·
Pada tanggal 11 Agustus 1966 di Jakarta
berlangsung peresmian normalisasi hubungan kedua Negara dengan ditandatangani
Jakarta Accord.Indonesia juga telah memulihkan hubungan dengan Singapura.
c.) Pembentukan
ASEAN
Pada
tanggal 8 Agustus 1967 dibentuk ASEAN dengan ditandatangani deklarasi ASEAN
atau Deklarasi Bangkok oleh lima menteri luar negeri. Keanggotaan ASEAN terbuka
bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara, sedangkan syarat menjadi anggota
adalah dapat menyetujui dasar dan tujuan pembentukan ASEAN. Sampai saat ini
negara yang telah resmi bergabung menjadi anggota ASEAN berjumlah 11 negara.
d.) Menguatnya
Peran Negara pada Masa Orde Baru dan Dampaknya bagi Masyarakat
1.
Dampak dalam bidang politik
·
Adanya Pemerintah yang Otoriter
·
Dominasi Golkar
·
Pemerintah yang Sentralis
2.
Dampak dalam bidang ekonomi
·
Munculnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
(KKN)
·
Adanya kesenjangan ekonomi dan social
·
Konglomerasi
B.Indonesia pada Masa Awal
Reformasi
Pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto mengakhiri
masa jabatannya sebagai presiden yang telah diembannya selama 32 tahun . Dengan
Soeharto mengundurkan diri maka berakhirlah masa Orde Baru di Indonesia, dan
lahirlah Masa Orde Reformasi.
1.
Kronologi
Berakhirnya Kekuasaan Orde Baru
Munculnya
Gerakan Reformasi
Reformasi
merupakan suatu perubahan tatanan perikehidupan lama ketatanan perikehidupan
baru yang lebih baik. Hasil dari perjuangan reformasi tidak dapat dipetik dalam
waktu yang singkat tetapi membutuhkan proses dan waktu. Bahkan hasil dari
reformasi tersebut baru dapat dinikmati oleh masyarakat Indonesia secara
bertahap, sehingga perlu adanya agenda reformasi untuk memprioritaskan mana
yang harus lebih dulu dilaksanakan. Kontrol terhadap reformasi perlu dilakukan,
agar pelaksanaan reformasi tepat pada tujuan dan sasaranya, karena reformasi
yang tidak terkendali akan kehilangan arah dan bahkan cenderung melanggar
norma-norma hukum, sehingga tidak membawa perbaikan dalam kehidupan masa depan
masyarakat Indonesia.
Menurunnya
pamor pemerintah Orde Baru telah dimulai sejak adanya perjanjian pemberian dana
bantuan IMF pada tahun 1997, perjanjian pertama setelah terjadinya krisis
moneter Asia bulan Oktober 1997. Pemberian dana bantuan ini sebenarnya
mengandung 2 kelemahan bagi Indonesia. Kelemahan pertama terletak pada posisi
dana bantuan. Pemberian dana bantuan yang diturunkan IMF di sini adalah utang
luar negeri yang harus dibayarkan kembali oleh Indonesia beserta dengan
bunganya, meskipun dengan presentase yang rendah. Kelemahan kedua adalah adanya
penerapan Structual Adjustment Program (Program Penyesuaian Struktural) dari
IMF yang menyertai penurunan dana bantuan tersebut. Structual Adjustment
Program adalah persyaratan IMF bagi indonesia dalam 4 bidang utama ( pengetatan
kebijakan fiskal, penghapusan subsidi, menutup 16 bank di Indonesia, dan
memerintahkakn bank sentral untuk menaikkna tingkat suku bunga). Perjanjian
kedua dengan IMF ditantatangani pada tanggal 15 Januari 1998. Syarat yang
ditekankan IMF bagi Indonesia adalah pemotongan seluruh subsidi rakyat dan
menghapus praktik monopoli serta penghapusan segala bentuk subsidi usahha nasional yang diberikan oleh
pemerintah. Persyaratan IMF ini membawa Indonesia pada keterpurukan ekonomi
yang lebih dalam.
Dengan
situasi politik dan ekonomi indonesia yang semakin tidak terkendali, rakyat
Indonesia menjadi semakin kritis dan menyatakan bahwa pemerintahan orde baru
tidak berhasil menciptakan kehidupan masyarakat yang makmur, adil dan sejahtera
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Oleh karena itu, kemudian muncul gerakan
reformasi yang bertujuan untuk memperbarui tatanan kehidupan bermasyarakat yang
dipelopori oleh para mahasiswa.
Tujuan
reformasi adalah terciptanya kehidupan dalam bidang politik, ekonomi, hukum dan
sosial yang lebih baik dari masa sebelumnya. Berikut adalah faktor pendorong
terjadinya gerakan reformasi.
a.) Faktor
politik, meliputi:
·
Adanya KKN dalam kehidupan pemerintahan.
·
Adanya rasa tidak percaya kepada
pemerintahan Orde Baru yang penuh dengan KKN.
·
Kekuasaan Orde Baru di bawah Soeharto
otoriter tertutup.
·
Adanya keinginan demokratisasi dalam
kehidupan berbangsa.
·
Mahasiswa menginginkan perubahan.
b.)
Faktor ekonomi, meliputi:
·
Adanya krisis mata uang Rupiah.
·
Naiknya harga barang-barang kebutuhan
masyarakat.
·
Sulitnya mendapatkan barang-barang kebutuhan
pokok.
c.)
Faktor sosial masyarakat, seperti asanya
kerusuhan pada tanggal 13 dan 14 Juni 1998 yangmelumpuhkan perekonomian rakyat.
d.) Faktor
hukum, belum adanya keadilan dalam perlakuan hukum yang sama di antara warga
negara.
Beberapa agenda reformasi yang disuarakan
mahasiswa adalah:
1) Mengadili
Soeharto dan kroni-kroninya
2)
Melakukan amandemen terhadap UUD 1945
3)
Menghapus dwifungsi ABRI dalam struktur
pemerintahan
4)
Penegakan supremasi hokum di Indonesia
5)
Menegakkan pemerintahan yang bersih dari
unsur-unsur KKN
6) Otonomi
daerah yang seluas-luasnya
Tujuan Reformasi adalah terciptanya
kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.
Kronologi Pengunduran Diri
Soeharto dari Kursi Kepresidenan
Menanggapi
kondisi perekonomian yang semakin para,
mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat pun mulai bergerak untuk
turun kejalan berdemonstrasi menuntut penurunan harga. Berbagai aksi-aksi yang
digelar mahasiswa beserta elemen masyarakat mulai bermunculan semenjak bulan
Februari 1998, dan mencapai puncaknya bulan Mei 1998. Pada tanggal 12 Mei 1998,
berbagai elemen mahasiswa menggelar aksi demontrasi damai menuntut penurunan
harga di Jakarta. Di Universitas Trisakti, aksi demontrasi damai pun terjadi.
Situasi aksi damai pada hari itu berjalan dengan sangat tertib. Bahkan beberapa
mahasiswa putri sempat memberikan bunga tanda simpati kepada para petugas yang
sedang bertugas mengamankan aksi demonstrasi damai tersebut. Akan tetapi,
situasi kemudian memanas sewaktu hari menjelang sore. Mahasiswa yang ingin
melakukan long march menuju DPR/MPR tidak diperbolehkan berjalan lebih jauh
oleh para petugas. Mereka diberhentikan tidak jauh dari pintu kampus Trisakti.
Didalam insiden bentrokan ini, empat mahasiswa tewas dan puluhan mengalami luka
serius. Keempat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hafidhin Royan,
Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto. Mereka kemudian diberi gelar sebagai
pahlawan reformasi.
Aksi penembakan terhadap empat mahasiswa
inii mengundang berbagai reaksi keras dari masyarakat dan elemen mahasiswa di
bebagai daerah. Sebelumnya, seorang mahasiswa dari Yogyakarta yang bernama
Moses Gatotkaca juga tewas dalam sebuah bentrokan dengan aparat keamanan
sewaktu melakukan aksi menuntut mundurnya Presiden Soeharto. Moses Gatotkaca
meninggal pada 8 Mei 1998. Pada tanggal 13 dan 14 Mei 1998, kerusuhan massal
yang cenderung mengarah ke tindakan anarkis berupa penjarahan dan penganiayaan
menjalar luas di seluruh ibukota. Toko-toko dibakar, barang-barang yang berada
di dalamnya dijarah oleh para oknum pelaku kerusuhan, bahkan terjadi banyak
kasus penganiayaan. Korban pun banyak berjatuhan, yang jumlahnya mencapai
ratusan. Sebagian besar karena terperangkap di dalam toko-toko yang dibakar
paksa oleh para oknum-oknum pelaku kerusuhan. Tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei
1998 ini merupakan titik kulminasi depresi masyarakat akibat krisis ekonomi
Indonesia. Krisis sosial dan masyarakatpun mulai bermunculan seiring dengan
adanya gesekan sosial tersebut.
Suasana Jakarta yang sangat tegang pasca
tragedi kerusuhan 13 dan 14 Mei 1998 ini terus berlangsung hingga digelarnya
aksi demonstrasi besar-besaran oleh para mahasiswa pada tanggal 19 Mei 1998.
Secara berbondong-bondong para mahasiswa yang berasal dari berbagai perguruan
tinggi di Jakarta dan kota-kota lainnya melakukan long march menuju gedung
MPR/DPR. Tujuannya adalah untuk menuntut turunnya Presiden Soeharto, menggelar
sidang istimewa MPR dan pelaksanaan reformasi aksi serupa juga terjadi di
Yogyakarta. Dikota ini, mahasiswa bersama elemen-elemen masyarakat Yogyakarta
berkumpul di alun-alun kota. Mereka ingin mendengar maklumat dari Sri Sultan
Hamengkubuwono dan Sri Paku Alam mengenai kondisi negara yang sedang tegang.
Pada tanggal yang sama, yaitu 19 Mei 1998,
Presiden Soeharto mengundang tokoh-tokoh masyarakat untuk datang ke Istana
Negara. Agendanya adalah membahas segala kemungkinan penanganan krisis negara.
Tokoh-tokoh yang diundang berjumlah 9 orang. Mereka adalah Nurcholis Madjid,
Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Nadjib, Ali Yafie, Malik Fadjar, Cholil Baidlowi,
Sutrisno Muhdam, Ma’aruf Amin dan Ahmad Bagdja. Selain itu, hadir pula Yuhsril
Ihza Mahendra, Sekretaris Militer Presiden Mayjen Jasril Jakub dan ajudan
Presiden. Didalam pertemuan yang berlangsung hingga 2,5 jam ini, tercapai
kesepakatan untuk membentuk suatu badan yang dinamakan Komite Reformasi. Komite
ini sebelumnya bernama Dewan Reformasi. Namun, kemudian di ubah karena hampir
mirip dengan Dewan Revolusi dan Dewan Jenderal seaktu terjadi peristiwa tragedi
pemberontakan G-30-S/PKI tahun 1965. Di dalam pertemuan ini, juga disepakati
bahwa Presiden Soeharto akan melakukan reshuffle Kabinet Pembangunan VI, dan
mengubah nama susunan kabinet Reformasi. Sedangkan, berdasarkan pidatonya
beliau sesaat setelah pertemuan ini digelar, Presiden Soeharto juga menyatakan
tugas-tugas yang diemban oleh Komite Reformasi menurut beliau dalam pidato ini
adalah untuk menyelesaikan UU Kepartaian, UU Pemilu, UU Susunan dan Kedudukan
MPR/DPR serta DPRD, UU Anto-Monopoli, UU Anti-Korupsi dan lainnya.
Masuk ketanggal 20 Mei 1998, suasana di
gedung MPR/DPR telah penuh sesak oleh mahasiswa. Berbagai elemen mahasiswa yang
berasal dari perguruan-perguruan tinggi di Indonesia berkumpul
bersama.Jumlahnya mencapai 50.000 orang. Di lain sisi, berbagai tokoh
masyarakat seperti Amien Rain dan Emil Salim menyatakan kekecewaandengan pidato
Presiden Soeharto tersebut.penyebabnya adalah bahwa sebenarnya presiden
Soeharto meminta pemberian waktu enam bulan untuk mengelar pemilihan Umum
secara kontitusional. Akan tetapi, hal tersebut tidak dinyatakan di dalam
pidato beliau selepas pertemuan itu selesai. Sedangkan di lain sisi, Soeharto
dari kursi kepresidenan pada saat itu. Emil Salim, melalui Gema Madani
menyerukan agar Presiden Soeharto melaksanakan niatnya untuk lengser keprabon
(turun dari tahta kekuasaan) pada saat itu juga (20 Mei 1998). Amin Rais juga
berada dalam posisi yang sama. Ia menginginkan reformasi dilaksanakan
secepatnya.
Sementara di lain sisi, isu untuk melakukan
aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei 1998 di Lapangan
Monas pun sudah menyebar. Dalam kondisi negara yang sangat tegang pada saat
itu, aksi ini dimungkinkan akan menimbulkan bentrokan yang besar dan
mengakibatkan jatuhnya korban, karena pada saat yang bersamaan, pengamanan di
seputra Lapangan Monas dan Istana Negara juga sangat ketat. Akhirnya, pada
tanggal 20 Mei 1998 pukul 05.30 pagi, Amin Rais mengumumkan pembatalan apel dan
aksi di Monas tersebut.
Sementara,
kekuatan mahasiswa makin menguat dan solit digedung MPR/DPR. Mahasiswa pun
memutuskan untuk memusatkan aksi memperingati Hari Kebangkitan Nasional di
Halaman gedung MPR/DPR. Aksi pada tanggal 20 Mei 1998 ini dihari oleh barbagai
tokoh-tokoh masyarakat. Pada pukul 11.30, Amien Rais datang ke gedung MPR/DPR.
Selanjutnya hadir pula tokoh-tokoh masyarakat seperti Deliar Noer, Emil Salim,
Erna Witoelar, Albert Hasibuan, Saparinah Sadli, Nursyahbani Katjasungkana,
A.M. Fatwa, Adnan Buyung Nasution, Permadi, Matori Abdul Djalil dan Wimar
Witoelar. Bahkan, tokoh-tokoh seni Indonesia pun hadir, seperti Dono Warkop,
Garin Nugroho dan Neno Warisman.
Aksi ini secara sporadis memunculkan
dukungan moral dari seluruh elemen bangsa. Bahkan, sumbangan-sumbangan nasi
bungkus dan air minum dari berbagai kalangan kepada mahasiswa yang sedanga
berdemo di gedung MPR/DPR pun terus berdatangan. Hal ini merupakan simbol bahwa
perjuangan mahasiswa pada saat itu secara moral telah berhasil memunculkan
solidaritas di kalangan masyarakat. Di tanggal ini pula (20 Mei 1998), Menteri
Luar Negeri Amerika Serikat Madeleine Albright secara nyata memberikan
pernyataannya yang meminta Presiden Soeharto untuk segera mundur. Pernyataan
Albright ini disiarkan secara live dalam breaking news CNN pada pukul 22.48
WIB. Ia menyatakan bahwa penguduran diri Presiden Soeharto sudah merupakan jalan
yang semestinya untuk memberi jalan bagi transisi demokrasi di Indonesia. Ia
menegaskan bahwa kesempatan ini merupakan momentum bagi Presiden Seoharto untuk
menorehkan langkah historisnya sebagai negarawan.
Di tanggal ini pula, pada pukul 14.30, sejumlah
14 menteri yang berada di bawah koordinasi Menko Ekuin, Ginandjar Kartasasmita
menyatakan penolakannya untuk dicalonkan kembali di dalam Kabinet Reformasi.
Mahasiswa secara bersama masih terus melakukan aksinya di gedung MPR/DPR.
Sementara pada pukul 16.45, terjadi pertemuan antara perwakilan mahasiswa
dengan pimpinan MPR/DPR di lantai 3 gedung lama MPR/DPR. Di dalam pertemuan
ini, mahasiswa memberikan batas waktu pengunduran diri Soeharto hingga hari
jumat tanggal 22 Mei 1998. Apabila tidak ada kepastian lebih lanjut, maka pada
hari Senin tanggal 25 Mei 1998 pimpinan
DPR akan mempersiapkan Sidang Istimewa MPR.
Aksi di gedung MPR/DPR mencapai puncaknya
pada 21 Mei 1998. Pada pukul 09.06 WIB, Soeharto mengumumkan pengunduran
dirinya dari posisi Presiden Republik Indonesia. Bertempat di Credential Room,
Istana Negara Jakarta, dengan disaksikan oleh Ketua Mahkamah Agung, Soeharto
mengakhiri jabatan presidensialnya yang telah diemban selama 32 tahun. Naskah
pengunduran diri Soeharto, Mahkamah Agung langsung melantik Wakil Presiden
Baharuddin Jusuf Habibie sebagai Presiden Republik Indonesia yang baru. Hal ini
sesuai amanat di dalam pasal 30 UUD 1945 yang berbunyi: “Jika Presiden mangkat,
berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa
jabatannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”.
Momentum turunnya Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 ini mengakhiri pemerintahan
Orde Baru yang telah berjalan selama 32 tahun di Indonesia.
2.Perkembangan
Kehidupan Bangsa Indonesia pada Awal Masa Reformasi
1) Presiden
B.J Habibie
Pada
tanggal 21 Mei 1998, pukul 10.00 WIB bertempat di Istana Negara, Presiden
Soeharti meletakkan jabatannya sebagai presiden di hadapan ketua dan beberapa
anggota dari Mahkamah Agung. Presiden menunjuk Wakil Presiden B.J. Habibie
sesuai dengan yang tertera pada UUD1945 untuk menggantikannya menjadi presiden,
serta pelantikannya dilakukan didepan Ketua Mahkamah Agung dan para anggotanya.
Maka sejak saat itu, Presiden Republik Indonesia dijabat oleh B.J. Habibie
sebagai presiden yang ke-3.
Naiknya
Habibie menjadi presiden menggantikan Presiden Soeharto menjadi polemik
dikalangan ahli hukum. Sebagian ahli menilai hal itu konstitusional, namun ada
juga yang berpendapat inkonstitusional. Adanya perbedaan pendapat itu
disebabkan karena hukum yang kita miliki kurang lengkap, sehingga menimbulkan
interpretasi yang berbeda-beda. Diantara mereka menyatakan pengangkatan Habibie
menjadi presiden konstitusional, berpegang pada Pasal 8 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat
melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis
waktunya". Tetapi yang menyatakan bahwa naiknya Habibie sebagai presiden
yang inkonstitusional berpegang pada ketentuan Pasal 9 UUD 1945 yang
menyebutkan bahwa "Sebelum presiden memangku jabatan maka presiden harus
mengucapkan sumpah atau janji di depan MPR atau DPR". Sementara, Habibie
tidak melakukan hal itu dan ia mengucapkan sumpah dan janji di depan Mahkamah
Agung dan personil MPR dan DPR yang bukan bersifat kelembagaan.
Dalam
ketentuan lain yang terdapat pada Tap MPR No. VII/MPR/1973, memungkinkan bahwa
sumpah dam janji itu diucapkan didepan Mahkamah Agung. Namun, pada saat Habibie
menerima jabatan sebagai presiden tidak ada alasan bahwa sumpah dan janji
presiden dilakukan di depan MPR atau DPR, Artinya sumpah dan janji presiden
dapat dilakukan di depan rapat DPR, meskipun saat itu Gedung MPR/DPR masih
diduduki dan dikuasai oleh para mahasiswa. Bahkan Soeharto seharusnya
mengembalikan dulu mandatanya kepada MPR, yang mengangkatnya menjadi presiden.
Apabila
dilihat dari segi hukum materiil, maka naiknya Habibie menjadi presiden adalah
sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal hal itu tidak konstitusional,
sebab perbuatan hukum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang atau
kekuasaan dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi yang
konstitusional. Apabila perbuatan hukum itu dihasilkan dari acara yang tidak
konstitusional, maka perbuatan hukum itu menjadi tidak sah. Pada saat itu
memang DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, karena Gedung DPR/MPR diduduki
oleh puluhan ribu mahasiswa dan para cendekiawan. Dengan demikian, hal ini
dapat dinyatakan sebagai suatu alasan yang kuat dan hal itu harus dinyatakan
sendiri oleh DPR.[1]
Habibie
yang menjabat sebagai presiden menghadapi keberadaan Indonesia yang serba
parah, baik dari segi ekonomi, politik, sosial dan budaya. Oleh karena itu,
langkah-langkah yang dilakukan oleh Habibie adalah berusaha untuk mengatasi
krisis ekonomi dan politik. Dalam menghadapi krisis itu, pemerintah Habibie
sangat berhati-hati terutama dalam pengelolaannya, sebab dampak yang
ditimbulkannya dapat mengancam integrasi bangsa. Untuk menjalankan
pemerintahan, presiden habibie tidak mungkin dapat melaksanaknnya sendiri tanpa
dibantu oleh menteri-menteri dan
kabinetnya. Oleh karena itu, Habibie membentuk kabinet.
Pada
tanggal 22 Mei 1998, Presiden Republik Indonesia yang ketiga B.J. Habibie
membentuk kabinet baru yang dinamakan Kabinet Reformasi Pembangunan. Kabinet
itu terdiri atas 16 orang menteri, dan para menteri itu diambil dari
unsur-unsur militer (ABRI), Golkar, PPP, PDI. Pada tanggal 25 Mei 1998
diselenggarakan pertemuan pertama kabinet habibie. Pertemuan ini berhasil
membentuk Komite untuk merancang undang-undang politik yang lebih longgar dalam
waktu satu tahun dan menyetujui pembatasan masa jabatan presiden yaitu maksimal
2 periode (satu periode lamanya 5 tahun). Upaya terebut mendapat sambutan
positif, tetapi dedakan agar pemerintah Habibie dapat merealisasikan agenda
reformasi tetap muncul.
Pembaharuan yang dilakukan oleh B.J. Habibie
antara lain:
1.) Bidang Ekonomi
Untuk
menyelesaikan krisis moneter dan perbaikan ekonomi Indonesia, B.J. Habibie
melakukan langkah-langkah sebagai berikut :
§ Merekapitulasi
perbankan
§ Melikuidasi
beberapa bank yang bermasalah.
§ Menaikkan
nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat
§ Mengimplementasikan
reformasi ekonomi yang diisyaratkan oleh IMF.
§ Merekonstruksi
perekonomian Indonesia.
2.) Bidang Politik
Memberi
kebebasan pada rakyat untuk menyalurkan aspirasinya sehingga banyak bermunculan
partai-partai politik yang baru sebanyak 45 parpol.
Membentuk tiga undang-undang demokratis
yaitu, (1) UU No. 2 tahun 1999 tentang
Partai Politik (2) UU No. 3 tahun 1999
tentang Pemilu (3) UU No. 4 tahun 1999 tentang
Susduk DPR/MPR
Menetapkan 12 ketetapan MPR dan ada 4
ketetapan yang mencerminkan jawaban dari tuntutan reformasi yaitu:
Ø Tap
No. VIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap No. IV/MPR/1983 tentang Referendum.
Ø
Tap No. XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan
Tap No. II/MPR/1978 tentang Pancasila Sebagai Asas Tunggal.
Ø
Tap No. XII/MPR/1998 tentang Pencabutan Tap
No. V/MPR/1998 tentang Presiden Mendapat Mandat dari MPR untuk Memiliki Hak-Hak
dan Kebijakan di Luar Batas Perundang-undangan.
Ø Tap
No. XIII/MPR/1998 tentang Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden
Maksimal Hanya Dua Kali Periode.
4.) Bidang Hukum
Untuk
melakukan refomasi hukum, ada beberapa hal yang dilakukan dalam pemerintahan
B.J. Habibie yaitu, a) Melakukan
rekonstruksi atau pembongkaran watak hukum Orde Baru, baik berupa
Undang-Undang, peraturan pemerintah, maupun peraturan menteri. b) Melahirkan 69 Undang-undang. c) Penataan ulang struktur kekuasaan
Kehakiman.
5.) Kebebasan Menyampaikan Pendapat
Presiden
B.J. Habibie memberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat di depan umum,
baik dalam rapat maupun unjuk rasa. Dan mengatasi terhadap pelanggaran dalam
penyampaian pendapat ditindak dengan UU No. 28 tahun 1998.
6.) Masalah Dwifungsi ABRI
Ada
beberapa perubahan yang muncul pada pemerintahan B.J. Habibie, yaitu :
• Jumlah
anggota ABRI yang duduk di kursi MPR dikurangi, dari 75 orang menjadi 35 orang
•
Polri memisahkan diri dari TNI dan menjadi
Kepolisian Negara
• ABRI
diubah menjadi TNI yang terdiri dari Angkatan Udara, Darat, dan Laut.
7.) Pemilihan Umum 1999
MPR
yang terbentuk melalui hasil pemilu 1999 berhasil menetapkan GBHN, melakukan
amandemen pertama terhadap UUD 1945, serta presiden dan wakil presiden. Pada
tanggal 20 Oktober 1999 MPR berhasil memilih K.H. Abdurrahman Wahid sebagai
presiden keempat RI dan sehari kemudian memilih Megawati Soekarnoputri sebagai
wakil presiden.
2) Presiden
K.H. Abdurrahman Wahid
Dalam
menjalankan pemerintahan, K.H. Abdurrahman Wahid didampingi wakilnya Megawati
Soekarno Putri . K.H. Abdurrahman Wahid adalah seorang santri tradisional yang
memiliki wawasan kebangsaan yang tidak diragukan.
Pasangan
K.H. Abdurrahman Wahid-Megawati membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang
dilantik pada tanggal 28 Oktober 1999. K.H. Abdurrahman Wahid juga membentuk
Dewan Ekonomi Nasional (DEN) yang bertujuan untuk memperbaiki ekonomi yang belum
pulih akibat krisis yang berkepanjangan.
3) Presiden
Megawati Soekarnoputri
Megawati
Soekarno Putri (Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri dilantik sebagai
presiden ke-5 pada tanggal 21 Juli 2001. Dalam menjalankan tugasnya Megawati
Soekarnoputri didampingi oleh wakilnya Hamzah Haz. Kabinet Megawati Soekarnoputri bernama
Kabinet Gotongroyong.
Presiden
Megawati Soekarnoputri merupakan peletak dasar ke arah Negara yang demokratis,
karena telah berhasil melaksanakan pemilu 2004 dengan aman dan damai. Untuk
pertamakalinya pada pemilu tersebut presiden dipilih langsung oleh rakyat.
4) Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono
Pada
tanggal 20 Oktober 2004 Susilo Bambang Yudhoyono dilantik menjadi presiden
ke-6. Dalam menjalankan tugasnya Susilo Bambang Yudhoyono didampingi oleh
wakilnya Jusuf Kala. Kabinet Susilo
Bambang Yudhoyono bernama Kabinet Indonesia Bersatu yang anggotanya dilantik
pada tanggal 21 Oktober 2004.
Pada
pemilu tahun 2009 Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangkan pemilu dan
terpilih kembali menjadi presiden yang ke-7 didampingi oleh Budiono. Kabinet
yang digunakan adalah Indonesia Bersatu II dan dilantik pada 22 Oktober 2009.
5) Presiden
Joko Widodo
Pada
pemilu tahun 2014 Joko Widodo terpilih sebagai presiden yang ke-8 didampingi
oleh Jusuf Kala. Pada tanggal 26 Oktober 2014 Joko Widodo dilantik menjadi
presiden.
Pada
tanggal 26 Oktober 2014 presiden Joko Widodo mengumumkan susunan kabinetnya di
Istana Negara. Kabinet tersebut bernama Kabinet Kerja. Sehari setelah
pengumuman, Kabinet Kerja dilantik.
C.
Perubahan Politik dan Ketatanegaraan Indonesia
1. Pemilihan
Umum Tahun 1999
Pemilu
pertama setelah reformasi bergulir diselenggaraka pada tanggal 7 Juni 1999.
Pemilu ini dianggap paling demokratis disbanding pemilu-pemilu sebelumnya, dilaksanakan
dengan luber dan jurdil.
Dalam
rangka persiapan tersebut, Presiden B.J Habibie mencabut UU pemilu yang dipakai
pada masa Orde Baru, dan sebagai gantinya ditetapkan 3 UU politik baru yang
ditandatangani pada tanggal 1 Februari 1999. Isi tiga UU tersebut mengenai
partai politik, proses pemilihan umum, serta susunan dan kedudukan MPR, DPR,
DPRD. Hanya 48 partai yang lolos untuk melaju dalam pemilihan umum 7 Juni 1999
dan 112 partai yang mendaftar ke Departemen Dalam Negeri. Adapun panitia yang harus
menyaring partai-partai tersebut adalah panitia 11. Sistem pemilu ini diatur
dalam UU No 3 Tahun 1999 yang menetapkan bahwa peraturan pemilu bersifat
campuran antara system proposional dan system distrik.
Pelaksanaan
pemilu 1999 sudah ditangani oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi Lembaga
Pemilihan Umum (LPU).
2.Pemilihan
Umum Tahun 2004
Dilaksanakan
melalui beberapa tahap, yaitu:
·
Tahap pertama (pemilu legislatif)
dilaksanakan pada tanggal 5 April 2004. Pada tahap ini untuk memilih para calon
legislative mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
·
Tahap kedua (pemilu presiden putaran
pertama) dilaksanakan pada tanggal 5 Juli 2004. Pada tahap ini untuk memilih
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden secara langsung.
·
Tahap ketiga (pemilu presiden putaran kedua)
dilaksanakan pada tanggal 24 September 2004. Pada tahap ini dimenangkan oleh
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kala untuk periode 2004-2009.
3.Pemilihan
Umum Tahun 2009
Pada
pemilihan tahun 2009 dimenangkan oleh pasangan Susilo Bambang
Yodhoyono-Budiono.
4.Pemilihan
Umum Tahun 2014
Pada
pemilihan tahun 2014 ini dimenangkan oleh pasangan JokoWidodo-Jusuf Kala.
5.Dampak
Reformasi
Reformasi telah mengubah kondisi
pemerintahan di Indonesia, perubahan tersebut dapat terlihat pada amanndemen
UUD 1945. UUD 1945 harus diamandemen karena setiap generasi pasti mengalami
perubahan. Masalah yang dihadapi pun semakin banyak dan kompleks, sehingga
tidak mungkin menggunakan undang-undang yang sama.
Amandemen tersebut membawa banyak pengaruh
besar dalam tata pemerintahan Indonesia. Kini peran lembaga-lembaga
pemerintahan lebih proporsional, pemerintahan mulai berjalan secara transparan
dan control terhadap kinerja mereka lebih ketat. Bahkan, rakyat mulai aktif
mengkritisi kinerja pemerintah.
Beberapa perubahan tersebut memebawa
pengaruh dalam kehidupan masyarakat antara lain, sebagai berikut :
• Kebebasan
berekspresi dan berpartisipasi rakyat dilindungi oleh UUD 1945 sehingga rakyat
lebih berani menyuarakan aspirasinya.
•
DPR tidak lagi berperan hanya sebagai
lembaga yang mengikuti kemauan presiden, tetapi menjadi lembaga yang sangat
ketat mengontrol kekuasaan presiden.
•
Presiden dan wakil presiden dipilih secara
langsung oleh rakyat sehingga mereka memiliki legitimasi yang kuat, tidak sekedar
menajalankan kehendak MPR
• Dibentuknya
lembaga-lembaga baru untuk meningkatkan kinerja pengelolaan negara.
Dampak reformasi juga terlihat dari
munculnya lembaga-lembaga yang menyuarakan aspirasi untuk menyelidiki dan
mengawasi pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di Indonesia. Banyak kasus
seperti korupsi dan pelanggaran HAM yang belum terselesaikan yang terjadi pada
masa Orde Baru sampai pada masa Orde
Reformasi. Oleh karena itu, sebagai sebuah momen untuk menyampaikan aspirasi,
masa reformasi menjadi otoritas bagi lembaga-lembaga penyelidik untuk
menyelidiki kasus-kasus pelanggaran, khususnya korupsi , hokum dan HAM.
Lembaga-lembaga tersebut antara lain, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM),
Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
0 komentar:
Posting Komentar