Upaya bangsa indonesia dalam menghadapi
ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi
Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI
3.9 Mengevaluasi upaya
bangsa indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI
Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI
4.9 Menyajikan hasil
kesimpulan tentang upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi
bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI,
Permesta, G-30-S/PKI
UPAYA BANGSA INDONESIA DALAM MENGHADAPI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA
A. Pemberontakan PKI
Madiun
Peristiwa Pembrontakan PKI Madiun 1948
merupakan konflik politik yang bersumber S perbedaan tersebut dalam dalam
kontek pluralism, maka perbedaan ideologi menjadi kekuatan
dalam membangun bangsa.
Begitu juga dengan
perbedaan kepentingan, selama perbedaan kepentingan disepakati sebagai
dinamika dalam berpikir kritis dengan tetap bersepakat pada mengutamakann
kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi kekuatan dalam
berpikir kritis dalam membangun bangsa. Namun sebaliknya selama perbedaan kepentingan
dipandang sebagai kepentingan kelompok yang dipaksakan dengan mengalahkan
kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi bisa sumber konflik.
PKI adalah
partai politik berhaluan kiri yang dalam sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari
ZIndische Social Democratissche
Vereeniging (ISDV) atau (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda), yang
didirikan pada tahun 1914 oleh Henk Sneevliet. Ia adalah seorang
pemimpin sayap kiri Serikat Buruh Kereta Api dan
yang sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan sosialis, yang terpaksa
hijrah ke Indonesia pada tahun 1913. ISDV sendiri pada mulanya lahir dari
keberadaan Sarekat Islam yang melarang anggotanya berideologi ganda dalam
perjuangan pergerakan Indonesia. Situasi
tersebut membuat para anggota yang beraliran komunis kecewa dan keluar dari Sarekat Islam,
kemudian mendirikan partai sendiri yang diberi
nama ISDV. Selanjutnya pada Kongres ISDV pada bulan Mei tahun 1920, nama ISDV
diubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH), dengan Samuan sebagai
ketuanya. Perlu dicatat di sini PKH merupakan partai pertama di Asia, yang
menjadi bagian dari Komunis International. Kemudian pada tahun 1924 nama PKH
diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pembrontkan
PKI dilakukan oleh PKI yang bergabung dengan Front Demokraksi Rakyat atau
(FDR). FDR adalah sebuah front persatuan partai-partai dan organisasi sayap
kiri yang didirikan pada tanggal bulan Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung
dalam FDR adalah
Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh
Indonesia, SOBSI dan Persindo.
Pada saat bangsa
Indonesia sedang berjuang melawan Belanda, baik berjuang secara fisik
melalui kekuatan bersenjata maupun secara diplomasi, melalui perjanjian-
perjanjian dengan pihak Belanda, tiba-tiba PKI menelikung dari belakang dengan
melakukan pembrontakan di Madiun pada tahun 1948, peristiwa tersebut kemudian
di kenal dengan nama Pembrontakan PKI Madiun. Pembrontkan PKI dilakukan oleh
PKI yang bergabung dengan Front Demokraksi Rakyat atau (FDR). FDR adalah sebuah
front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri yang didirikan pada
tanggal bulan Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung dalam FDR adalah Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis,
Partai Buruh Indonesia, SOBSI dan Persindo.
Latar
belakang pembrontakan PKI Madiun, berawal dari jatuhnya Kabinet Amir
Syariffudin. Sebagai Perdana Menteri yang mewakili Indonesia dalam perjanjian
Renville. Sejak penandatangan perjanjian Renville, Amir Syarifudin tidak lagi
mendapat dukungan dalam kabinet. Selanjutnya dibentuk Kabinet baru dengan
Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Pembentukan kabinet baru tidak
disetujui oleh Amir Syarifudin dengan kelompok sayap kiri lainnya, yang
kemudian bergabung dalam FDR. Sementara itu Muso seorang tokoh komunis dalam
sidang Politibiro PKI pada tanggal 13 Agustus 1948, menawarkan sebuah gagasan
yang dikenal dengan nama jalan baru untuk Republik Indonesia. Muso menghendakai
partai kelas buruh dengan memakai nama PKI. Untuk itu perlu dilakukan fusi tiga
partai yang beraliran Marxisme- Leninisme, yaitu PKI, Partai
Buruh Indonesia (PBI), Partai Sosialis Indonesia (PSI),
hasil fusi ini akan mempimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah
pemerintahan yang disebut “Komite Front Nasional”. Untuk menyampaikan
gagasannya Muso dan Amir Syarifudin berencana menguasai daerah-daerah yang
dianggap strategis yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan melakukan aksi
agitasi, demonstasi dan aksi-aksi pengacauan. Peristiwa Madiun pecah pada 1948, ketika tentara di bawah Sukarno dan Hatta menyerang PKI, Aidit melarikan diri dari Jawa Tengah dan bersembunyi di Jakarta – kota yang sudah sangat dikenalnya sejak ia menjadi
aktivis nasionalis pada pertengahan 1940-a (Rosa, 2008). Di bawah pimpinan Muso PKI
berusaha meraih kekuasaan. Upaya-upaya
yang dilakukan untuk meraih kekuasaan adalah dengan menarik partai dan berbagai
organisasi untuk bergabung dengan FDR. Mendorong melakukan demostrasi, pemogokan
kaum buruh dan petani. Muso juga memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah,
dengan melakukan kritik atau pernyataaan yang
tidak menguntungkan, bahkan
membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang pada
waktu itu ditengahi oleh Amerika
Serikata (AS) (Rosa,
2008). Pernyataan-pernyataan
Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet,
sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah dua Negara berseiteru
dalam Perang Dingin,
Puncak dari upaya yang dilakukan oleh PKI adalah melakukan pembontakan Senjata pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun. Bersmaan
dengan itu pula diproklamirkan berdirinya “Republik Soviet Indonesa” dan dibentuknya
pemerintahan baru (Taufik Abdullah,
2012).
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam
meredam aksi yang dilakukan PKI adalah dengan melakukan diplomasi dengan
pimpinan PKI Muso. Namun demikian upaya diplomasi menemukan jalan bantu.
Mengingat situasi pada saat itu sudah semakin memanas. Aksi yang dilakukan oleh
PKI pada awal pembrontakan adalah melakukan pembunuhan terhadap pejabat
pemerintah, tokoh-tokoh partai politik anti komunis dan juga membunuh kaum
santri. PKI juga melakukan tindakan penangkapan sewenang wenang terhadap
tokoh-tokoh yang berseberangan dengan PKI tidak segan-segan mereka membunuh dan
menembak lawan-lawan politiknya. Pembrontakan PKI Madiun akhirnya dapat
ditumpas oleh pasukan Divisi Siliwangi. Pembrontakan PKI Madiun dapat
dipadamkan dan pemimpim pemberontakan Muso tewas tertembak, sementara Amir
Syarifudin ditangkap dan jatuhi hukuman mati. Sedangkan tokoh-tokoh PKI muda
seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri dan pada saat itu PKI belum
dinyatakan sebagai organisasi terlarang.
B. Pemberontakan DII/TII
Pembrontakan
DII/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwirjo,
pada awalnya hanya berlangusung di Jawa Barat, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah,
Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Kartosuwirjo sendiri pada
awalnya seorang pejuang melawan Belanda. Ia diangkat menjadi sekretaris Masyumi
Jawa Barat. Berawal dari hasil perjanjian Renville, sesuai dengan perjanjian
Renville, maka TNI harus meninggalkan daerah-daerah yang dikuasasi Belanda.
Sementara itu laskar Hisbullah dan Sabilillah di bawah pengaruh Kartosuwirjo
tidak bersedia pindah atau meninggalkan Jawa Barat, bahkan mereka
membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Bersama dengan TII, kemudian
Kartosuwirjo menyatakan pembentukan Darul Islam pada Agustus 1949 (Taufik
Abdullah, 2012) Pada saat pasukan Siliwangi tersebut
berhijrah, DII/TII dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan
membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan
merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Kemudian
ketika pasukan Siliwangi kembali ke
Jawa Barat, Kartosuwirjo tidak mau mengakui TNI, kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu artinya Kartosuwirjo tidak mengakui pemerintah RI di Jawa Barat.
Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah
desa yang terletak
di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia,
dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya
diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini
dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang
sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan
perundingan Renville.
Usaha untuk
menumpas pembrontakan DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan
oleh beberapa faktor,
yaitu: (a) tempat
tinggal pasukan DI/TII
ini berada di daerah
pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya, (b) pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa
di lingkungan penduduk, (c) pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda
yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan, (d)
Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai
politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan (Djoened, 2010). Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII,
pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus
kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat
untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok
DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan
para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha
yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji
ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan setelah Sekarmadji meninggal,
pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan. Pemberontakan DII/TII merupakan pemberontakan yang
hampir menyeluruh terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Berikut merupakan
cakupan wilayah pemberontakan DI/TII.
Tabel
1. Pemberontakan DI/TII di berbagai wilayah
No
|
Pemberontakan
|
Waktu
|
Pemimpin
|
1
|
Pemberontakan
DI/TII
Jawa
Barat
|
7 Agustus
1949
|
Kartosuwiryo
|
2
|
Pemberontakan
DI/TII
Jawa
Tengah
|
23 Agustus
1949
|
Amir Fatah
|
3
|
Pemberontakan
DI/TII
Aceh
|
20
Spetember 1953
|
Daud
Beureueh
|
Pemberontakan
DI/TII
Kalimantan Selatan
|
Oktober
1959
|
Haderi bin
Umar
|
|
4
|
Pemberontakan
DI/TII
Sulawesi Selatan
|
1951
|
Kahar
Muzakar
|
C. Pemberontakan APRA
Salah satu dari hasil perjanjinan Konferensi Meja Bundar adalah Belanda
mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pengakuan
Indonesia sebagai Negara RIS, tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang
menyatakan bentuk
Negara Indonesia adalah Negara Kestauan Republik
Indonesia, meskipun pengakuan sebagai Negara merupakan suatu proses untuk
kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat-
perangkat pemerintahan di Indonesia
tidak setuju dengan bentuk negara federal (Djoened, 2010).Tapi juga tidak sedikit
yang tetap menginginkan Indonesia
dengan
bentuk negara
federal. Keinginan-keinginan
yang berbeda ini menimbulkan banyaK ketidakpuasan yang pada ujungnya menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu.
Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan
dukungan dari Belanda karena merasa takut jika
Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya
atas Indonesia akan hilang.
Angkatan Perang
Ratu Adil atau disebut APRA
merupakan pemberontakan yang paling
awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda
sebagai Negara RIS. Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA) di pimpinan
oleh Kapten Raymond Westerling dan didalangi
oleh golongan kolonialis Belanda. Landasan yang mendorong
gerakan APRA adalah kepercayaan rakyat
Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian
rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh
Belanda atau Jepang,
mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat
dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang
pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan
adil dan bijaksana, sehingga keadaan
akan aman dan damai dan
rakyat akan makmur
dan
sejahtera. Selanjutnya
Westerling menghimpun rakyat
dan mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda
untuk ikut bergabung menjadi bagian dari tentara APRA. APRA sebenarnya sudah dibentuk
sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer
Belanda menerima laporan, bahwa Westerling telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai
pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang
diterima Inspektur Polisi Belanda
J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah
"Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI)
dan
memiliki satuan
bersenjata yang dinamakan Angkatan Perang
Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan
anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat
bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.
Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah
mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah
Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi
oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda.
Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia
dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS (Djoened, 2010).
Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan yang dilancarkan secara
spontan, tetapi telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan
tertinggi militer Belanda. Pada 25 Desember
1949 Westerling menghubungi Letnan Jenderal
Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk
menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden
mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan
kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden
memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok
militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling.
Jenderal van Vreeden yang bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan
kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut
memperingatkan Westerling agar tidak
melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.
Pada hari Kamis tanggal
5 Januari 1950, Westerling
mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah
sebuah ultimatum. Westerling
menuntut agar Pemerintah
RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah
RIS harus mengakui APRA sebagai
tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan
jawaban positif terkait ultimatum tersebutdalm waktu 7 hari dan apabila
ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu
menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun
juga di pihak Belanda dan
dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris
(Komisaris Tinggi Belanda) yang
baru tiba di Indonesia.
Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya
menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda,
Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer
Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.
Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada
Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia
telah mengeluarkan perintah penangkapan
terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota
(WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan
pasal exorbitante rechten terhadap
Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta.
Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan
Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta
Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci
mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan
dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.
Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan
Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk
mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada
bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah
memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke
Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20
Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang
dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum
itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal
17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa
Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah
menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.
Operasi
penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan
gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah
pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju
Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran
daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan
pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.
Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta
antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah deseteurs
(anggota tentara yang melarikan diri dari
dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25 januari 1950 pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens-
guns.
Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan
Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung,
Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan
suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri
sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian
Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat
Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya
adalah Sultan Hamid II, yang
juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa
portofolio. Sultan Hamid II dapat segera
ditangkap, sedangkan Westerling
sempat melarikan diri ke luar
negeri pada 22 Februari 1950
dengan menumpang pesawat
Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka
gerakannya pun jadi bubar.
D.
Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan
Andi Azis yang terjadi di Makassar pada tahun 1950, dipimpin oleh Andi Aziz
sendiri, seorang perwira mantan KNIL. Di awali oleh adanya kekacauan yang berlangsung
di Makassar, yakni adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera
menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik
dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Untuk menjaga
keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah
mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah
tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan
kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat
pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah
komando kapten Andi Azis. Ia menganggap
bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.
Pada dasarnya pembrontakan tersebut dilatar
belakangi oleh keinginan Andi Aziz dengan gerombolannya ingin mempertahankan
Negara Indonesia Timur, Disamping di latar belakang pula oleh penolakan
masuknya TNI ke dalam bagian Angakaran Perang Republik Indonesia Serikat.
Tindakan yang dilakukan oleh Andi Aziz adalah menduduki tempat-tempat penting,
dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur yaitu Letnan Kolonel A.J.
Mokoginata. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa latar belakang
pemberontakan Andi Azis adalah : (a) Menuntut bahwa keamanan di Negara
Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja. (b)
Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia
Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan. (c) Mempertahankan berdirinya
Negara Indonesia Timur.
Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan
Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di
Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta
berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana
Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh
Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21
April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa
NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Untuk menanggulangi pemberontakan yang di
lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah
kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta
untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan
yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri
dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang
dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi
Selatan.
Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke
Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena
keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk
mempertanggungjawab-kan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang
dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi
Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar
tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.
Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi
yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan.
Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena
keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu
peralihan pasukan APRIS
keluar dari Makassar.
Para anggota KL-KNIL
memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara
pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.
Pertempuran antara pasukan APRIS dengan
KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu
sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya
peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut
pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan
strategi pengepungan terhadap tentara- tentara KNIL tersebut.
Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta
untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan
lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan.
Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor
Jendral Scheffelaar dari pihak KL- KNIL. Hasil perundingan kedua belah
pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya
kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL
harus meninggalkan Makassar.
Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga
dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten,
Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta
karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang
Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu
dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di
desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan
Presiden RI, BJ. Habibie
beserta istrinya Hasri
Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI
turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.
E.
Pemberontakan RMS
Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang
diproklamasikan merdeka pada 25
April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur
(saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh
Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai
gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di
pengasingan, Belanda Pemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari
J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku
dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh
secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah
dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama],
pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini
mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda. Tagal serangan dan anneksasi
illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil,
terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina
(pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan
militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.
Pemberontakan
Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu,
mereka tidak puas terhadap proses
kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI).
Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa
status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota
APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali
ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke
Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya
terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu
oleh anggota Polisi
yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian
dari Korp Speciale
Troepen yang dibentuk
oleh seorang kapten bernama
Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung.
Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror
tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan.
Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah
memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh
masyarakat diingatkan untuk
menghindari dan waspada dari ancaman bahaya
tersebut.
Pada
tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen
NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet
NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah
NKRI. Kegagalan pemberontakan
yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya
Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan
menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik
Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka
KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh
anggota dewan yang berada di daerah Maluku
Selatan dibunuh. Namun,
usul tersebut ditolak karena
anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu
terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.
Pemberontakan
RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk
melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum
diproklamasikannya Republik Maluku
Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang
beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan
propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah
Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah.
Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara
Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke
penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang
buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS
memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu
sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya
terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B
Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane,
Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.
Tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil
Presiden RMS untuk daerah luar
negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil
menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9
Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson
diangkat sebagai panglima tertinggi.
Dalam upaya
penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara
diplomasi perdamaian. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan
mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Namun, misi yang
diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang
dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan
pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.
Karena
upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya
pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan
mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang
menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah
pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun
akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950,
pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam
bahaya. Pada tanggal 28 September,
pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah
Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk
benteng Nieuw Victoria
yang akhirnya juga berhasil
dikuasai oleh pasukan militer tersebut.
Dengan
jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat
perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui
selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan
RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden
RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya
melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah
organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).
Pada Tahun
1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung
pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh
beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh
Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera
38 penumpang kereta api tersebut.
Pada tahun
2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara
pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap
oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka
tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum
yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala
Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15
orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran bendera
RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera
tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan
pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah
aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan
tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
F.
Pemberontakan PRRI-Permesta
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI),
dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik
Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng
diciutkan sehingga menjadi kecil
dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade
ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen
Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan
kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah
berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat
itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah
Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit
dan masyarakat yang sangat rendah.
Ketidakpuasan
tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng
yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini
diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng)
bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari
Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad
Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB
diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan
karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang
perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut,
Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan
Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan
secara maksimal (Djoened, 2010).
Selanjutnya,
PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk
Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
(Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden
Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal
10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan
berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada
Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang
konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945
serta membuktikan kesediaannya itu
dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain (a) mendesak kabinet
Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno, (b) mendesak pejabat
presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional
yang bebas dari pengaruh PKI (komunis), (c) mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat
sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang, (d) mendesak
Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi, (e) Jika
tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah
tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota
kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI
memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat. Pada tanggal 2 Maret
1957, di Makasar yang berada
di wilayah timur Negara Indonesia
terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan
Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol
Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok
PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua
kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh- tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa
pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan
Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.
Tujuan dari
pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan
pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan
yang berada di daerah Pulau
jawa. PRRI memberikan usulan
atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Taufik
Abdullah, 2012). Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara
yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada
pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa
tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi
pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi,
jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang
tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan
pemerintahan Republik Indonesia.
Karena
ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk
dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan
Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa
berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin
Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi
PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur.
Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA
memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang
diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada
tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah
menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk
mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution supaya menindak tegas pemberontakan yang
dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut (Dahlan. 1994). Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan
PNI dan PKI menghendaki supaya pemberontakan tersebut untuk segera di musnahkan
dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan
Masyumi dan PSI yang berada
di Jakarta sedang mendesak
adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk
menindak para pemberontak itu dengan tegas.
Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman
instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
Pada awal
bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah
pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum
pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang
minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958,
daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke
pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai
dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan
daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak
pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah
tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah
membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi
Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi
tersebut di pimpin oleh Letkol
Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan
dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat
yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak
jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958.
Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan
diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam
gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
Pemberontakan
yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini
membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri
Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut
membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis.
Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar
dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot
bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota
Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya
memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya.
Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI
dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan
PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan
Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari
pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk
menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan
pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan
menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera
terutama daerah Padang.
G.
Pembrontakan G30S/PKI
Peristiwa
G30S merupakan puncak kemelut politik, dari pertikaian kekuatan- kekuatan
politik yang bersumber pada pertentangan (konflik) ideologi yang telah
berlangsung sebelumnya. Ideologi
menjadi sumber konflik,
mengingat dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai
tumbuh dan berkembang berdasarkan pada ideologi tertentu. Di penghujung
pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik hadir dipentas
perpolitikan Indonesia. Tiga kekuatan tersebut adalah Soekarno sebagai sosok
yang memegang kekuasaan, Militer-TNI AD sebagai penjaga kedaulatan negara yang
sekaligus memiliki peran sosial-politik, dan PKI sebagai kekuatan politik yang
memiliki basis masa cukup kuat dan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang
mampu mengimbangi kekuatan militer. Munculnya tiga kekuatan politik tersebut,
merupakan sebuah proses panjang dari pertikaian kekuatan politik yang bernuansa ideologis dalam setiap periode
pemerintahan, dari Demokrasi
Liberal menuju Demokrasi Terpimpin, kemudian bermuara pada tragedi berdarah
peristiwa G30S.
Sekitar pada tahun 1960-1963, diwarnai dengan
aksi-aksi sepihak yang dilakukan PKI. Aksi sepihak di daerah-daerah, memaksa
orang-orang PKI harus berhadapan dengan TNI-AD, orang-orang PNI, NU, dan
kelompok Islam lainnya. Diawali dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) 1960, kedua Undang-undang tersebut mengatur tentang
hak dan pengelolaan atas
tanah. Melalui kedua UU tersebut, PKI dan organisasi masanya khususnya Barisan
Tani Indonesia (BTI) memobilisasi kaum petani untuk menghantam tuan tanah, yang
kemudian oleh lawan-lawannya disebut “aksi-aksi sepihak”. Sebagian besar aksi
sepihak dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Taufik Abdullah, 2012).
Selanjutnya, konflik tidak sebatas pada
persoalan tanah, konflik meluas akibat perbedaan identitas budaya antara PKI
dengan lawan-lawanya, karena pemilik tanah di daerah ada dari kalangan NU atau
PNI, sehingga aksi-aksi sepihak ditujukan terhadap pemilik tanah dari NU atau
PNI. Konflik terus meluas tidak hanya tentang siapa mempunyai apa, dan berapa
banyak bisa didapat,
melainkan lebih tentang
klaim siapa yang bermoral tinggi (Budiawan,2004:122) Kemudian dengan
jargon-jargon politiknya PKI menyebut para pemilik tanah di desa-desa dengan
“setan desa” sedangkan mereka yang duduk dalam perusahaan negara
disebut dengan “setan
kota”. Aksi-aksi sepihak yang dilakukan akhirnya
harus berhadapan dengan
aparat teritorial Angkatan
Darat dan ormas-ormas Islam yang secara asasi antikomunis, yang menyebabkan
suhu politik di daerah semakin memanas.
Kondisi politik menjadi semakin memanas
dengan adanya usulan angkatan ke-5. Gagasan angkatan ke-5 yang pada awalnya dilontarkan
Soekarno dalam pidatonya di depan
siswa Lemhanas, yang dihadiri juga oleh semua panglima angkatan. Dalam ceramah
itu, Bung Karno mengatakan bahwa pada waktu berkunjung ke Shanghai, Perdana
Menteri RRC Chou En Lai memberitahukan di RRC terdapat empat angkatan, yaitu
Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angakatan Laut dan Milisi. Dijelaskan milisi
adalah rakyat yang dipersenjatai dan sangat efektif bagi pertahanan negara (Katoppo,
2000:36)
Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat
dari PKI, karena sesuai dengan strategi PKI untuk menggalang kekuatan
secara militer. Sesuai
dengan konsep politik yang dianut oleh D.N. Aidit, PKI
menetapkan jalan revolusioner, di samping parlementer, sebagai upaya mewujudkan
kekuatan komunis Indonesia. Upaya PKI untuk memiliki kekuatan bersenjata,
dilaksanakan dengan cara membentuk kekuatan di luar militer, yaitu kekuatan
dari buruh dan tani (Katoppo, 2000:37-38). Hal ini sesuai dengan
konsep Angkatan ke-5 yang telah diusulkan PKI. Usulan pembentukan angkatan ke-5 mendapat
tantangan keras dari TNI-AD. A Yani secara tegas menolak pembentukan angkatan ke-5, dengan alasan tidak efisien
karena sudah ada Hansip (Pertahanan Sipil). Walaupun di negara-negara komunis
kaum buruh dan tani dipersenjatai, A Yani bependapat bahwa hal itu tidak perlu
diterapkan di Indonesia (Katoppo, 2000:39). Ketegasan A Yani, menunjukkan
kekompakan TNI-AD terhadap PKI, baik Nasution maupun A Yani memiliki sikap sama
menentang PKI. A Yani bahkan menegaskan “mulai saat ini, kita tidak akan mundur
selangkahpun terhadap PKI” (Nusa Bakti, 1999:97)
Puncaknya terjadi pada malam 30 September
1965. Terjadi penculikan para jendral. Dari peristiwa tersebut membuat ketujuh
jendral tersebut meninggal dunia. Setelah peristiwa puncak tersebut, muncul
berbagai pandangan dan saling melempar tanggung jawab mengenai siapa dalang
dibalik peristiwa kejam tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah hari – hari
tersebut. PKI yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab mendapat
tekanan yang luar biasa. Namun demikian Presiden Soekarno tetap menghimbau
rakyat untuk tetap bersatu dan tidak termakan fitnah. Dalam sidang paripurna
Kabinet Dwikora di Bogor Presiden Sukarno menegaskan pendiriannya, sebagai
berikut :
a) Mengutuk
pembunuhan buas terhadap para perwira Angkatan Darat yang telah diangkat
sebagai pahlawan revolusi.
b)
Menyatakan segala duka atas hilangnya
pahlawan revolusi tersebut.
c)
Tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi.
d) Dibutuhkan
suasana tenang dan tertib untuk mengambil tindakan seperlunya terhadap
oknum-oknum dan semua pihak yang ikut serta dalam peristiwa 30 September dan
untuk mencari penyelesaian.
e) Di
samping itu agar supaya kita jangan kehilangan akal dan tidak tahu apa yang
harus kita perbuat untuk melanjutkan dan menyelamatkan revolusi khususnya
terhadap ancaman Nekolim yang sudah tentu akan dilaksanakan jika revolusi
Indonesia menjadi kacau balau.
f) Untuk
itu Presiden menegaskan agar jangan kita dikemudikan oleh peranan perorangan oleh tindakan –
tindakan yang membikin kehidupan bangsa terpecah-
pecah membikin Angkatan Bersenjata kita terpecah belah. Ini memang yang
dikehendaki dan ditunggu-tunggu oleh Nekolim. Pelajaran dari masa lampau ialah
bahwa gontok-gontokan antara kita – selalu diikuti oleh serangan dari pihak
Nekolim.
Himbauan
Presiden Soekarno sudah tidak lagi mampu untuk menenangkan gejolak masyarakat yang pada masa itu tersulut
emosi oleh peristiwa
tersebut. Terjadi sebuah perpecahan di masyarakat, PKI
dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Masyarakat secara luasa
menuntut dibubakarkannya PKI, tuntutantersebut yang sering dikenal dengan Tritura. Bubarkan
PKI, Perombakan kabinet
Dwikora, dan turunkan harga pangan. Tuntutan tersebut akhirnya didengar
dan kemudian presiden Soekarno akhirnya mengambil sikap dengan tujuan untuk
mengamankan pemerintahan. Soekarno mengeluarkan surat perintah guna pengamanan
Pemerintahan, yang sampai saat ini dikenal sebaga Surat Perintah Sebelas Maret
(SUPERSEMAR).
Supersemar
dimandatkan pada Soeharto yang kemudian menjadi senjata TNI untuk kemudian
mampu dengan leluasa memberantas apa yang telah menjadi ancaman sebuah bangsa
meskipun harus menggunakan cara – cara yang subversif, termasuk pemberantasan
PKI.
SUMBER :
http://ppg.spada.ristekdikti.go.id/master/pluginfile.php/5414/mod_resource/content/1/5.1_POTONGAN%20MATERI.pdf
0 komentar:
Posting Komentar