Kamis, 16 Januari 2020

MATERI SEJARAH 3.9 4.9 KURIKULUM 2013 REVISI 2018 Upaya bangsa indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI



Upaya bangsa indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI

3.9 Mengevaluasi upaya bangsa indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI

4.9 Menyajikan hasil kesimpulan tentang upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi ancaman disintegrasi bangsa antara lain PKI Madiun 1948, DI/TII, APRA, Andi Aziz, RMS, PRRI, Permesta, G-30-S/PKI


UPAYA BANGSA INDONESIA DALAM MENGHADAPI ANCAMAN DISINTEGRASI BANGSA



A.   Pemberontakan PKI Madiun
            Peristiwa Pembrontakan PKI Madiun 1948 merupakan konflik politik yang bersumber S perbedaan tersebut dalam dalam kontek pluralism, maka perbedaan ideologi menjadi kekuatan dalam membangun bangsa. Begitu juga dengan perbedaan kepentingan, selama perbedaan kepentingan disepakati sebagai dinamika dalam berpikir kritis dengan tetap bersepakat pada mengutamakann kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi kekuatan dalam berpikir kritis dalam membangun bangsa. Namun sebaliknya selama perbedaan kepentingan dipandang sebagai kepentingan kelompok yang dipaksakan dengan mengalahkan kepentingan nasional, maka perbedaan kepentingan menjadi bisa sumber konflik.
            PKI adalah partai politik berhaluan kiri yang dalam sejarahnya tidak bisa dilepaskan dari ZIndische Social Democratissche Vereeniging (ISDV) atau (Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda), yang didirikan pada tahun 1914 oleh Henk Sneevliet. Ia adalah seorang pemimpin sayap kiri Serikat Buruh Kereta Api dan yang sebelumnya merupakan tokoh sayap kiri gerakan sosialis, yang terpaksa hijrah ke Indonesia pada tahun 1913. ISDV sendiri pada mulanya lahir dari keberadaan Sarekat Islam yang melarang anggotanya berideologi ganda dalam perjuangan pergerakan Indonesia. Situasi tersebut membuat para anggota yang beraliran komunis kecewa dan keluar dari Sarekat Islam, kemudian mendirikan partai sendiri yang diberi nama ISDV. Selanjutnya pada Kongres ISDV pada bulan Mei tahun 1920, nama ISDV diubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH), dengan Samuan sebagai ketuanya. Perlu dicatat di sini PKH merupakan partai pertama di Asia, yang menjadi bagian dari Komunis International. Kemudian pada tahun 1924 nama PKH diubah menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).
            Pembrontkan PKI dilakukan oleh PKI yang bergabung dengan Front Demokraksi Rakyat atau (FDR). FDR adalah sebuah front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri yang didirikan pada tanggal bulan Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung dalam FDR adalah Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, SOBSI dan Persindo.
            Pada saat bangsa Indonesia sedang berjuang melawan Belanda, baik berjuang secara fisik melalui kekuatan bersenjata maupun secara diplomasi, melalui perjanjian- perjanjian dengan pihak Belanda, tiba-tiba PKI menelikung dari belakang dengan melakukan pembrontakan di Madiun pada tahun 1948, peristiwa tersebut kemudian di kenal dengan nama Pembrontakan PKI Madiun. Pembrontkan PKI dilakukan oleh PKI yang bergabung dengan Front Demokraksi Rakyat atau (FDR). FDR adalah sebuah front persatuan partai-partai dan organisasi sayap kiri yang didirikan pada tanggal bulan Februari 1948 oleh Amir Syarifudin. Organisasi yang tergabung dalam FDR adalah Partai Komunis Indonesia, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia, SOBSI dan Persindo.
Latar belakang pembrontakan PKI Madiun, berawal dari jatuhnya Kabinet Amir Syariffudin. Sebagai Perdana Menteri yang mewakili Indonesia dalam perjanjian Renville. Sejak penandatangan perjanjian Renville, Amir Syarifudin tidak lagi mendapat dukungan dalam kabinet. Selanjutnya dibentuk Kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Pembentukan kabinet baru tidak disetujui oleh Amir Syarifudin dengan kelompok sayap kiri lainnya, yang kemudian bergabung dalam FDR. Sementara itu Muso seorang tokoh komunis dalam sidang Politibiro PKI pada tanggal 13 Agustus 1948, menawarkan sebuah gagasan yang dikenal dengan nama jalan baru untuk Republik Indonesia. Muso menghendakai partai kelas buruh dengan memakai nama PKI. Untuk itu perlu dilakukan fusi tiga partai yang beraliran Marxisme- Leninisme, yaitu PKI, Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), hasil fusi ini akan mempimpin revolusi proletariat untuk mendirikan sebuah pemerintahan yang disebut “Komite Front Nasional”. Untuk menyampaikan gagasannya Muso dan Amir Syarifudin berencana menguasai daerah-daerah yang dianggap strategis yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur, dengan melakukan aksi agitasi, demonstasi dan aksi-aksi pengacauan. Peristiwa Madiun pecah pada 1948, ketika tentara di bawah Sukarno dan Hatta menyerang PKI, Aidit melarikan diri dari Jawa Tengah dan bersembunyi di Jakarta kota yang sudah sangat dikenalnya sejak ia menjadi aktivis nasionalis pada pertengahan 1940-a (Rosa, 2008). Di bawah pimpinan Muso PKI berusaha meraih kekuasaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meraih kekuasaan adalah dengan menarik partai dan berbagai organisasi untuk bergabung dengan FDR. Mendorong melakukan demostrasi, pemogokan kaum buruh dan petani. Muso juga memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah, dengan melakukan kritik atau pernyataaan yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang pada waktu itu ditengahi oleh Amerika Serikata (AS) (Rosa, 2008). Pernyataan-pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet, sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah dua Negara berseiteru dalam Perang Dingin, Puncak dari upaya yang dilakukan oleh PKI adalah melakukan pembontakan Senjata pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun. Bersmaan dengan itu pula diproklamirkan  berdirinya          “Republik           Soviet   Indonesa”          dan dibentuknya
pemerintahan baru (Taufik Abdullah, 2012).
Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam aksi yang dilakukan PKI adalah dengan melakukan diplomasi dengan pimpinan PKI Muso. Namun demikian upaya diplomasi menemukan jalan bantu. Mengingat situasi pada saat itu sudah semakin memanas. Aksi yang dilakukan oleh PKI pada awal pembrontakan adalah melakukan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah, tokoh-tokoh partai politik anti komunis dan juga membunuh kaum santri. PKI juga melakukan tindakan penangkapan sewenang wenang terhadap tokoh-tokoh yang berseberangan dengan PKI tidak segan-segan mereka membunuh dan menembak lawan-lawan politiknya. Pembrontakan PKI Madiun akhirnya dapat ditumpas oleh pasukan Divisi Siliwangi. Pembrontakan PKI Madiun dapat dipadamkan dan pemimpim pemberontakan Muso tewas tertembak, sementara Amir Syarifudin ditangkap dan jatuhi hukuman mati. Sedangkan tokoh-tokoh PKI muda seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri dan pada saat itu PKI belum dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

B.      Pemberontakan DII/TII

            Pembrontakan DII/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwirjo, pada awalnya hanya berlangusung di Jawa Barat, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Kartosuwirjo sendiri pada awalnya seorang pejuang melawan Belanda. Ia diangkat menjadi sekretaris Masyumi Jawa Barat. Berawal dari hasil perjanjian Renville, sesuai dengan perjanjian Renville, maka TNI harus meninggalkan daerah-daerah yang dikuasasi Belanda. Sementara itu laskar Hisbullah dan Sabilillah di bawah pengaruh Kartosuwirjo tidak bersedia pindah atau meninggalkan Jawa Barat, bahkan mereka membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Bersama dengan TII, kemudian Kartosuwirjo menyatakan pembentukan Darul Islam pada Agustus 1949 (Taufik Abdullah, 2012) Pada saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, DII/TII dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Kemudian ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat, Kartosuwirjo tidak mau mengakui TNI, kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu artinya Kartosuwirjo tidak mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

            Usaha untuk menumpas pembrontakan DI/TII ini memakan waktu cukup lama di karenakan oleh beberapa faktor, yaitu: (a) tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya, (b) pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk, (c) pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik perkebunan, dan para pendukung Negara pasundan, (d) Suasana Politik yang tidak konsisten, serta prilaku beberapa golongan partai politik yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan (Djoened, 2010). Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan. Pemberontakan DII/TII merupakan pemberontakan yang hampir menyeluruh terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Berikut merupakan cakupan wilayah pemberontakan DI/TII.

Tabel 1. Pemberontakan DI/TII di berbagai wilayah

No
Pemberontakan
Waktu
Pemimpin
1
Pemberontakan DI/TII
Jawa Barat
7 Agustus 1949
Kartosuwiryo
2
Pemberontakan DI/TII
Jawa Tengah
23 Agustus 1949
Amir Fatah
3
Pemberontakan DI/TII
Aceh
20 Spetember 1953
Daud Beureueh

Pemberontakan DI/TII
Kalimantan Selatan
Oktober 1959
Haderi bin Umar
4
Pemberontakan DI/TII
Sulawesi Selatan
1951
Kahar Muzakar

C.     Pemberontakan APRA

                        Salah satu dari hasil perjanjinan Konferensi Meja Bundar adalah Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat. Pengakuan Indonesia sebagai Negara RIS, tidak sesuai dengan amanat UUD 1945 yang menyatakan  bentuk  Negara            Indonesia adalah Negara Kestauan Republik Indonesia, meskipun pengakuan sebagai Negara merupakan suatu proses untuk kembali ke NKRI, karena memang hampir semua masyarakat dan perangkat- perangkat pemerintahan di Indonesia tidak setuju dengan bentuk negara federal (Djoened, 2010).Tapi juga tidak sedikit yang tetap menginginkan Indonesia dengan   bentuk   negara   federal.   Keinginan-keinginan   yang   berbeda         ini menimbulkan banyaK ketidakpuasan    yang     pada     ujungnya            menimbulkan pemberontakan-pemberontakan atau kekacauan-kekacauan yang terjadi pada saat itu.

                        Pemberontakan-pemberontakan ini dilakukan oleh golongan- golongan tertentu yang mendapatkan dukungan dari Belanda karena merasa takut jika Belanda meninggalkan Indonesia maka hak-haknya atas  Indonesia akan hilang.

                        Angkatan Perang Ratu Adil atau disebut APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda sebagai Negara RIS. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di pimpinan oleh Kapten Raymond Westerling dan didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Landasan yang mendorong gerakan APRA adalah kepercayaan  rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan  makmur dan  sejahtera.  Selanjutnya Westerling menghimpun  rakyat  dan mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda untuk ikut bergabung menjadi bagian dari tentara APRA. APRA sebenarnya sudah dibentuk sebelum Konferensi Meja Bundar itu disahkan. Pada bulan November 1949, dinas rahasia militer Belanda menerima laporan, bahwa Westerling  telah mendirikan organisasi rahasia yang mempunyai pengikut sekitar 500.000 orang. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan  memiliki  satuan  bersenjata  yang  dinamakan Angkatan  Perang   Ratu Adil (APRA). Pengikutnya kebanyakan adalah mantan anggota KNIL dan yang melakukan desersi dari pasukan khusus KST/RST. Dia juga mendapat bantuan dari temannya orang Tionghoa, Chia Piet Kay, yang dikenalnya sejak berada di kota Medan.

                        Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS (Djoened, 2010).

                        Pemberontakan yang dilakukan oleh Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh mantan Kapten KNIL Raymond Westerling bukanlah pemberontakan  yang  dilancarkan   secara   spontan,   tetapi   telah direncanakan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Westerling dan bahkan telah diketahui oleh pimpinan tertinggi militer Belanda. Pada 25 Desember 1949 Westerling menghubungi Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda untuk menanyakan bagaimana pendapat van Vreeden mengenai rencananya untuk melakukan kudeta terhadap Soekarno setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda terhadap Indonesia. Van Vreeden memang telah mendengar berbagai rumor, antara lain ada sekelompok militer yang akan mengganggu jalannya penyerahan kedaulatan, tidak terkecuali rumor mengenai pasukan yang dipimpin oleh Westerling. Jenderal van Vreeden yang bertanggung-jawab atas kelancaran penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 tersebut memperingatkan   Westerling   agar    tidak    melakukan tindakan seperti apa yang diungkapkan padanya.

                        Pada hari Kamis tanggal 5 Januari 1950, Westerling mengirim surat kepada pemerintah RIS yang isinya adalah sebuah ultimatum. Westerling menuntut agar Pemerintah RIS menghargai negara-negara bagian, terutama Negara Pasundan serta Pemerintah RIS harus mengakui APRA sebagai tentara Pasundan. Pemerintah RIS harus memberikan jawaban positif terkait ultimatum tersebutdalm waktu 7 hari dan apabila ditolak, maka akan timbul perang besar. Ultimatum Westerling ini tentu menimbulkan kegelisahan tidak saja di kalangan RIS, namun juga di pihak Belanda dan dr. H.M. Hirschfeld, Nederlandse Hoge Commissaris (Komisaris Tinggi Belanda) yang baru tiba di Indonesia. Kabinet RIS menghujani Hirschfeld dengan berbagai pertanyaan yang membuatnya menjadi sangat tidak nyaman. Menteri Dalam Negeri Belanda, Stikker menginstruksikan kepada Hirschfeld untuk menindak semua pejabat sipil dan militer Belanda yang bekerjasama dengan Westerling.

                        Pada 10 Januari 1950 Hatta menyampaikan kepada Hirschfeld, bahwa pihak Indonesia telah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap Westerling. Sebelumnya, ketika Lovink masih menjabat sebagai Wakil Tinggi Mahkota (WTM), dia telah menyarankan Hatta untuk mengenakan pasal exorbitante rechten terhadap Westerling. Sementara itu, Westerling mengunjung Sultan Hamid II di Jakarta. Sebelumnya, mereka pernah bertemu bulan  Desember 1949. Westerling menerangkan tujuannya, dan meminta Hamid menjadi pemimpin gerakan mereka. Hamid ingin mengetahui secara rinci mengenai organisasi Westerling tersebut, namun dia tidak memperoleh jawaban yang memuaskan dari Westerling. Pertemuan hari itu tidak membuahkan hasil apapun.

                        Pertengahan Januari 1950, Menteri UNI dan Urusan Provinsi Seberang Lautan, Mr.J.H. van Maarseven berkunjung ke Indonesia untuk mempersiapkan pertemuan Uni Indonesia-Belanda yang akan diselenggarakan pada bulan Maret 1950. Hatta menyampaikan kepada Maarseven, bahwa dia telah memerintahkan kepolisian untuk menangkap Westerling. Ketika berkunjung ke Belanda, Menteri Perekonomian RIS Juanda pada 20 Januari 1950 menyampaikan kepada Menteri Götzen, agar pasukan elit RST yang dipandang sebagai faktor risiko, secepatnya dievakuasi dari Indonesia. Sebelum itu, satu unit pasukan RST telah dievakuasi ke Ambon dan tiba di Ambon tanggal 17 Januari 1950. Pada 21 Januari Hirschfeld menyampaikan kepada Götzen bahwa Jenderal Buurman van Vreeden dan Menteri Pertahanan Belanda Schokking telah menggodok rencana untuk evakuasi pasukan RST.

                        Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk senjata ukuran 12,7 dan berpuluh karaben.

                        Pada 24 Januari 1950 tengah malam terjadi tembak-menembak di Kramatalaan No.29 Jakarta antara pauskan TNI dengan geromboan yang diduga adalah  deseteurs  (anggota  tentara  yang   melarikan   diri   dari   dinasi tentara). Tembak-menembak tersebut berlangsung sampai 25  januari  1950  pagi. Dalam penggerebekan pasukan kita berhasil merampas 30 pucuk owens- guns.

                        Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang         terlibat, termasuk beberapa orang tokoh  Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang      kabinet, dan      membunuh        Menteri Pertahanan        Sri                    Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri pada 22 Februari 1950 dengan menumpang pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.


D.     Pemberontakan Andi Azis

            Pemberontakan Andi Azis yang terjadi di Makassar pada tahun 1950, dipimpin oleh Andi Aziz sendiri, seorang perwira mantan KNIL. Di awali oleh adanya kekacauan yang berlangsung di Makassar, yakni adanya demonstrasi dari kelompok masyarakat yang anti federal, mereka mendesak NIT supaya segera menggabungkan diri dengan RI. Sementara itu di sisi lain terjadi sebuah konflik dari kelompok yang mendukung terbentuknya Negara Federal. Untuk menjaga keamanan di lingkungan masyarakat, maka pada tanggal 5 April 1950 pemerintah mengutus pasukan TNI sebanyak satu Batalion dari Jawa untuk mengamankan daerah tersebut. Namun kedatangan TNI ke daerah tersebut dinilai mengancam kedudukan kelompok masyaraat pro-federal. Selanjutnya para kelompok masyarakat pro-federal ini bergabung dan membentuk sebuah pasukan “Pasukan Bebas” di bawah komando kapten Andi Azis. Ia menganggap bahwa masalah keamanan di Sulawesi Selatan menjadi tanggung jawabnya.

            Pada dasarnya pembrontakan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan Andi Aziz dengan gerombolannya ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur, Disamping di latar belakang pula oleh penolakan masuknya TNI ke dalam bagian Angakaran Perang Republik Indonesia Serikat. Tindakan yang dilakukan oleh Andi Aziz adalah menduduki tempat-tempat penting, dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur yaitu Letnan Kolonel A.J. Mokoginata. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa latar belakang pemberontakan Andi Azis adalah : (a) Menuntut bahwa keamanan di Negara Indonesia Timur hanya merupakan tanggung jawab pasukan bekas KNIL saja. (b) Menentang campur tangan pasukan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) terhadap konflik di Sulawesi Selatan. (c) Mempertahankan berdirinya Negara Indonesia Timur.

            Pada tanggal 5 April 1950, anggota pasukan Andi Azis menyerang markas Tentara Nesional Indonesia (TNI) yang bertempat di Makassar, dan mereka pun berhasil menguasainya. Bahkan, Letkol Mokoginta berhasil ditawan oleh pasukan Andi Azis. Akhirnya, Ir.P.D Diapri (Perdana Mentri NIT) mengundurkan diri karena tidak setuju dengan apa yang sudah dilakukan oleh Andi Azis dan ia digantikan oleh Ir. Putuhena yang pro-RI. Pada tanggal 21 April 1950, Sukawati yang menjabat sebagai Wali Negara NIT mengumumkan bahwa NIT bersedia untuk bergabung dengan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

            Untuk menanggulangi pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Azis, pada tanggal 8 April 1950 pemerintah memberikan perintah kepada Andi Azis bahwa setiap 4 x 24 Jam ia harus melaporkan diri ke Jakarta untuk mempertanggungjawabkan perbuatan yang sudah ia lakukan. Untuk pasukan yang terlibat dalam pemberontakan tersebut diperintahkan untuk menyerahkan diri dan melepaskan semua tawanan. Pada waktu yang sama, dikirim pasukan yang dipimpin oleh A.E. Kawilarang untuk melakukan operasi militer di Sulawesi Selatan.

            Tanggal 15 April 1950, Andi Azis pergi ke Jakarta setelah didesak oleh Sukawati, Presiden dari Negara NIT. Namun karena keterlambatannya untuk melapor, Andi Azis akhirnya ditangkap dan diadili untuk mempertanggungjawab-kan perbuatannya, sedangkan untuk pasukan TNI yang dipimpin oleh Mayor H. V Worang terus melanjutkan pendaratan di Sulawesi Selatan. Pada tanggal 21 April 1950, pasukan ini berhasil menguasai Makassar tanpa adanya perlawanan dari pihak pemberontak.

            Pada Tanggal 26 April 1950, anggota ekspedisi yang dipimpin oleh A.E Kawilarang mendarat di daratan Sulawesi Selatan. Keamanan yang tercipta di Sulawesi Selatan-pun tidak berlangsung lama karena keberadaan anggota KL-KNIL yang sedang menunggu peralihan pasukan APRIS keluar dari Makassar. Para anggota KL-KNIL memprovokasi dan memancing emosi yang menimbulkan terjadinya bentrok antara pasukan KL-KNIL dengan pasukan APRIS.

            Pertempuran antara pasukan APRIS dengan KL-KNIL berlangsung pada tanggal 5 Agustus 1950. Kota Makassar pada saat itu sedang berada dalam kondisi yang sangat menegangkan karena terjadinya peperangan antara pasukan KL-KNIL dengan APRIS. Pada pertempuran tersebut pasukan APRIS berhasil menaklukan lawan, dan pasukan APRIS-pun melakukan strategi pengepungan terhadap tentara- tentara KNIL tersebut.

            Tanggal 8 Agustus 1950, pihak KL-KNIL meminta untuk berunding ketika menyadari bahwa kedudukannya sudah tidak menguntungkan lagi untuk perperang dan melawan serangan dari lawan. Perundingan tersebut akhirnya dilakukan oleh Kolonel A.E Kawilarang dari pihak RI dan Mayor Jendral Scheffelaar dari pihak KL- KNIL. Hasil perundingan kedua belah pihakpun setuju untuk menghentikan baku tembak yang menyebabkan terjadinya kegaduhan di daerah Makassar tersebut, dan dalam waktu dua hari pasukan KNIL harus meninggalkan Makassar.

            Pada tanggal 30 Januari 1984 seluruh keluarga dari Andi Azis diselimuti oleh duka yang mendalam karena kepergian sang Kapten, Andi Abdoel Azis. Di usianya yang sudah menginjak 61 Tahun, ia meninggal di Rumah Sakit Husada Jakarta karena serangan jantung yang dideritanya. Andi Azis meninggalkan seorang Istri dan jenasahnya diterbangkan dari Jakarta Ke Sulawesi Selatan, lalu dimakamkan di pemakaman keluarga Andi Djuanna Daeng Maliungan yang bertempat di desa Tuwung, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan. Dalam suasana duka, mantan Presiden RI, BJ. Habibie beserta istrinya Hasri Ainun, mantan Wakil Presiden RI, Try Sutrisno dan para anggota perwira TNI turut berduka cita dan hadir dalam acara pemakaman Andi Azis.


E.      Pemberontakan RMS

            Republik Maluku Selatan (RMS) adalah daerah yang diproklamasikan merdeka pada 25 April 1950 dengan maksud untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur (saat itu Indonesia masih berupa Republik Indonesia Serikat). Namun oleh Pemerintah Pusat, RMS dianggap sebagai pemberontakan dan setelah misi damai gagal, maka RMS ditumpas tuntas pada November 1950. Sejak 1966 RMS berfungsi sebagai pemerintahan di pengasingan, Belanda Pemerintah RMS yang pertama dibawah pimpinan dari J.H. Manuhutu, Kepala Daerah Maluku dalam Negara Indonesia Timur (NIT). Setelah Mr. dr. Chris Soumokil dibunuh secara illegal atas perintah Pemerintah Indonesia, maka dibentuk Pemerintah dalam pengasingan di Belanda dibawah pimpinan Ir. [Johan Alvarez Manusama], pemimpin kedua [drs. Frans Tutuhatunewa] turun pada tanggal 24 april 2009. Kini mr. John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda. Tagal serangan dan anneksasi illegal oleh tentara RI, maka Pemerintah RMS - diantaranya Mr. Dr. Soumokil, terpaksa mundur ke Pulau Seram dan memimpin guerilla di pedalaman Nusa Ina (pulau Seram). Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.

            Pemberontakan Andi Azis, Westerling, dan Soumokil memiliki kesamaan tujuan yaitu, mereka tidak puas terhadap proses kembalinya RIS ke Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI). Pemberontakan yang mereka lakukan mengunakan unsur KNIL yang merasa bahwa status mereka tidak jelas dan tidak pasti setelah KMB. Keberhasilan anggota APRIS mengatasi keadaan yang membuat masyarakat semakin bersemangat untuk kembali ke pangkuan NKRI. Namun, dalam usaha untuk mempersatukan kembali masyarakat ke Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi beberapa hambatan yang diantaranya terror dan intimidasi yang di tujukan kepada masyarakat, terlebih setelah teror yang dibantu oleh anggota Polisi yang telah dibantu dengan pasukan KNIL bagian dari Korp Speciale Troepen yang dibentuk oleh seorang kapten bernama Raymond Westerling yang bertempat di Batujajar yang berada di daerah Bandung. Aksi teror yang dilakukannya tersebut bahkan sampai memakan korban jiwa karena dalam aksi terror tersebut terjadi pembunuhan dan penganiayaan. Benih Separatisme-pun akhirnya muncul. Para biokrat pemerintah daerah memprovokasi masayarakat Ambon bahwa penggabungan wilayah Ambon ke NKRI akan menimbulkan bahaya di kemudian hari sehingga seluruh masyarakat diingatkan untuk menghindari dan waspada dari ancaman bahaya tersebut.

            Pada tanggal 20 April tahun 1950, diajukannya mosi tidak percaya terhadap parlemen NIT sehingga mendorong kabinet NIT untuk meletakan jabatannya dan akhirnya kabinet NIT dibubarkan dan bergabung ke dalam wilayah NKRI. Kegagalan pemberontakan yang di lakukan oleh Andi Abdoel Azis (Andi Azis) menyebabkan berakhirnya Negara Indonesia Timur. Akan tetapi Soumokil bersama para anggotanya tidak akan menyerah untuk melepaskan Maluku Tengah dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indoneisa. Bahkan dalam perundingan yang berlangsung di Ambon dengan pemuka KNIL beserta Ir. Manusaman, ia mengusulkan supaya daerah Maluku Selatan dijadikan sebagai daerah yang merdeka, dan bila perlu seluruh anggota dewan yang berada di daerah Maluku Selatan dibunuh. Namun, usul tersebut ditolak karena anggota dewan justru mengusulkan supaya yang melakukan proklamasi kemerdekaan di Maluku Selatan tersebut adalah Kepala Daerah Maluku Selatan, yaitu J. Manuhutu. Akhirnya, J. Manuhutu terpaksa hadir pada rapat kedua di bawah ancaman senjata.

            Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil. Dan pada tanggal 25 April 1950, para anggota RMS memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS), dengan J.H Manuhutu sebagai Presiden dan Albert Wairisal sebagai Perdana Menteri. Para menterinya terdiri atas Mr.Dr.C.R.S Soumokil, D.j. Gasperz, J. Toule, S.J.H Norimarna, J.B Pattiradjawane, P.W Lokollo, H.F Pieter, A. Nanlohy, Dr.Th. Pattiradjawane, Ir.J.A. Manusama, dan Z. Pesuwarissa.

            Tanggal 27 April 1950 Dr.J.P. Nikijuluw ditunjuk sebagai Wakil Presiden RMS untuk daerah luar negeri dan berkedudukan di Den Haang, Belanda, dan pada 3 Mei 1950, Soumokil menggantikan Munuhutu sebagai Presiden Rakyat Maluku Selatan. Pada tanggal 9 Mei, dibentuk sebuah Angkatan Perang RMS (APRMS) dan Sersan Mayor KNIL, D.J Samson diangkat sebagai panglima tertinggi.

            Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara diplomasi perdamaian. Cara yang dilakukan oleh pemerintah yaitu, dengan mengirim misi perdamaian yang dipimpin oleh Dr. Leimena. Namun, misi yang diajukan tersebut ditolak oleh Soumokil. Selanjutnya misi perdamaian yang dikirim oleh pemerintah terdiri atas para pendeta, politikus, dokter, wartawan pun tidak dapat bertemu langsung dengan pengikut Soumokil.

            Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur. Setelah pemerintah membentuk sebuah operasi militer, penumpasan pemberontakan RMS pun akhirnya dilakukan pada tanggal 14 Juli 1950, dan pada tanggal 15 Juli 1950, pemerintahan RMS mengumumkan bahwa Negara Republik Maluku Selatan sedang dalam bahaya. Pada tanggal 28 September, pasukan militer yang diutus untuk menumpas pemberontakan menyerbu ke daerah Ambon, dan pada tanggal 3 November 1950, seluruh wilayah Ambon dapat dikuasai termasuk benteng Nieuw Victoria yang akhirnya juga berhasil dikuasai oleh pasukan militer tersebut.

            Dengan jatuhnya pasukan RMS yang berada di daerah Ambon, maka hal ini membuat perlawanan yang dilakukan oleh pasukan RMS dapat ditaklukan. Pada tanggal 4 sampai 5 Desember, melalui selat Haruku dan Saparua, pusat pemerintahan RMS beserta Angkatan Perang RMS berpindah ke Pulau Seram. Pada tahun 1952, J.H Munhutu yang tadinya menjabat sebagai presiden RMS tertangkap di pulau Seram, Sementara itu sebagian pimpinan RMS lainnya melarikan diri ke Negara Belanda. Setelah itu, RMS kemudian mendirikan sebuah organisasi di Belanda dengan pemerintahan di pengasingan (Government In Exile).

            Pada Tahun 1978 anggota RMS menyandera kurang lebih 70 warga sipil yang berada di gedung pemerintahan Belanda di Assen-Wesseran. Teror tersebut juga dilakukan oleh beberapa kelompok yang berada di bawah pimpinan RMS, seperti kelompok Bunuh Diri di Maluku Selatan. Dan pada tahun 1975 kelompok ini pernah merampas kereta api dan menyandera 38 penumpang kereta api tersebut.

            Pada tahun 2002, pada saat peringatan proklamasi RMS yang ke-15 dilakukan, diadakan acara pengibaran bendera RMS di Maluku. Akibat dari kejadian ini, 23 orang ditangkap oleh aparat kepolisian. Setelah penangkapan aktivis tersebut dilakukan, mereka tidak menerima penangkapan tersebut karena dianggap tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Selanjutnya mereka memperadilkan Gubernur Maluku beserta Kepala Kejaksaan Tinggi Maluku karena melakukan penangkapan dan penahanan terhadap 15 orang yang diduga sebagai propokator dan pelaksana pengibaran bendera RMS tersebut. Aksi pengibaran bendera tersebut terus dilakukan, dan pada tahun 2004, ratusan pendukung RMS mengibarkan bendera RMS di Kudamati. Akibat dari pengibaran bendera ini, sejumlah aktivis yang berada di bawah naungan RMS ditangkap dan akibat dari penangkapan tersebut, terjadilah sebuah konflik antara sejumlah aktivis RMS dengan Kelompok Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).


F.      Pemberontakan PRRI-Permesta

            Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil dan hanya menyisakan satu brigade. Brigade ini pun akhirnya diperkecil lagi menjadi Resimen Infanteri 4 TT I BB. Hal ini memunculkan perasaan kecewa dan terhina pada para perwira dan prajurit Divisi IX Banteng yang telah berjuang mempertaruhkan jiwa dan raganya bagi kemerdekaan Indonesia. Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah.

            Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) bersama dengan ratusan perwira aktif dan para pensiunan yang berasal dari Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan tersebut. Letnan Kolonel Ahmad Husein yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB diangkat menjadi ketua Dewan Banteng. Kegiatan ini diketahui oleh KASAD dan karena Dewan Banteng ini bertendensi politik, maka KASAD melarang perwira-perwira AD untuk ikut dalam dewan tersebut. Akibat larangan tersebut, Dewan Banteng justru memberikan tanggapan dengan mengambil alih pemerintahan Sumatera Tengah dari Gubernur Ruslan Muloharjo, dengan alasan Ruslan Muloharjo tidak mampu melaksanakan pembangunan secara maksimal (Djoened, 2010).

            Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain (a) mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno, (b) mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis), (c) mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang, (d) mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi, (e) Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

            Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat. Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh- tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.

            Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Taufik Abdullah, 2012). Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

            Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI

            Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution supaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut (Dahlan. 1994). Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaya pemberontakan tersebut untuk segera di musnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.

            Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

            Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.

            Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.

            Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.


G.     Pembrontakan G30S/PKI

            Peristiwa G30S merupakan puncak kemelut politik, dari pertikaian kekuatan- kekuatan politik yang bersumber pada pertentangan (konflik) ideologi yang telah berlangsung sebelumnya. Ideologi menjadi sumber konflik, mengingat dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai tumbuh dan berkembang berdasarkan pada ideologi tertentu. Di penghujung pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik hadir dipentas perpolitikan Indonesia. Tiga kekuatan tersebut adalah Soekarno sebagai sosok yang memegang kekuasaan, Militer-TNI AD sebagai penjaga kedaulatan negara yang sekaligus memiliki peran sosial-politik, dan PKI sebagai kekuatan politik yang memiliki basis masa cukup kuat dan sebagai satu-satunya kekuatan politik yang mampu mengimbangi kekuatan militer. Munculnya tiga kekuatan politik tersebut, merupakan sebuah proses panjang dari pertikaian kekuatan politik yang bernuansa ideologis dalam setiap periode pemerintahan, dari Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin, kemudian bermuara pada tragedi berdarah peristiwa G30S.

            Sekitar pada tahun 1960-1963, diwarnai dengan aksi-aksi sepihak yang dilakukan PKI. Aksi sepihak di daerah-daerah, memaksa orang-orang PKI harus berhadapan dengan TNI-AD, orang-orang PNI, NU, dan kelompok Islam lainnya. Diawali dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UUPBH) 1960, kedua Undang-undang tersebut mengatur tentang hak dan pengelolaan atas tanah. Melalui kedua UU tersebut, PKI dan organisasi masanya khususnya Barisan Tani Indonesia (BTI) memobilisasi kaum petani untuk menghantam tuan tanah, yang kemudian oleh lawan-lawannya disebut “aksi-aksi sepihak”. Sebagian besar aksi sepihak dilakukan di Jawa Tengah dan Jawa Timur (Taufik Abdullah, 2012).

            Selanjutnya, konflik tidak sebatas pada persoalan tanah, konflik meluas akibat perbedaan identitas budaya antara PKI dengan lawan-lawanya, karena pemilik tanah di daerah ada dari kalangan NU atau PNI, sehingga aksi-aksi sepihak ditujukan terhadap pemilik tanah dari NU atau PNI. Konflik terus meluas tidak hanya tentang siapa mempunyai apa, dan berapa banyak bisa didapat, melainkan lebih tentang klaim siapa yang bermoral tinggi (Budiawan,2004:122) Kemudian dengan jargon-jargon politiknya PKI menyebut para pemilik tanah di desa-desa dengan “setan desa” sedangkan mereka yang duduk dalam perusahaan negara disebut dengan “setan kota”. Aksi-aksi sepihak yang dilakukan akhirnya harus berhadapan dengan aparat teritorial Angkatan Darat dan ormas-ormas Islam yang secara asasi antikomunis, yang menyebabkan suhu politik di daerah semakin memanas.

            Kondisi politik menjadi semakin memanas dengan adanya usulan angkatan ke-5. Gagasan angkatan ke-5 yang pada awalnya dilontarkan Soekarno dalam pidatonya di depan siswa Lemhanas, yang dihadiri juga oleh semua panglima angkatan. Dalam ceramah itu, Bung Karno mengatakan bahwa pada waktu berkunjung ke Shanghai, Perdana Menteri RRC Chou En Lai memberitahukan di RRC terdapat empat angkatan, yaitu Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angakatan Laut dan Milisi. Dijelaskan milisi adalah rakyat yang dipersenjatai dan sangat efektif bagi pertahanan negara (Katoppo, 2000:36)

            Gagasan tersebut mendapat sambutan hangat dari PKI, karena sesuai dengan strategi PKI untuk menggalang kekuatan secara militer. Sesuai dengan konsep politik yang dianut oleh D.N. Aidit, PKI menetapkan jalan revolusioner, di samping parlementer, sebagai upaya mewujudkan kekuatan komunis Indonesia. Upaya PKI untuk memiliki kekuatan bersenjata, dilaksanakan dengan cara membentuk kekuatan di luar militer, yaitu kekuatan dari buruh dan tani (Katoppo, 2000:37-38). Hal ini sesuai dengan konsep Angkatan ke-5 yang telah diusulkan PKI. Usulan pembentukan angkatan ke-5 mendapat tantangan keras dari TNI-AD. A Yani secara tegas menolak pembentukan angkatan ke-5, dengan alasan tidak efisien karena sudah ada Hansip (Pertahanan Sipil). Walaupun di negara-negara komunis kaum buruh dan tani dipersenjatai, A Yani bependapat bahwa hal itu tidak perlu diterapkan di Indonesia (Katoppo, 2000:39). Ketegasan A Yani, menunjukkan kekompakan TNI-AD terhadap PKI, baik Nasution maupun A Yani memiliki sikap sama menentang PKI. A Yani bahkan menegaskan “mulai saat ini, kita tidak akan mundur selangkahpun terhadap PKI” (Nusa Bakti, 1999:97)

            Puncaknya terjadi pada malam 30 September 1965. Terjadi penculikan para jendral. Dari peristiwa tersebut membuat ketujuh jendral tersebut meninggal dunia. Setelah peristiwa puncak tersebut, muncul berbagai pandangan dan saling melempar tanggung jawab mengenai siapa dalang dibalik peristiwa kejam tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah hari – hari tersebut. PKI yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab mendapat tekanan yang luar biasa. Namun demikian Presiden Soekarno tetap menghimbau rakyat untuk tetap bersatu dan tidak termakan fitnah. Dalam sidang paripurna Kabinet Dwikora di Bogor Presiden Sukarno menegaskan pendiriannya, sebagai berikut :

a)   Mengutuk pembunuhan buas terhadap para perwira Angkatan Darat yang telah diangkat sebagai pahlawan revolusi.
b)   Menyatakan segala duka atas hilangnya pahlawan revolusi tersebut.
c)   Tidak membenarkan pembentukan Dewan Revolusi.
d)   Dibutuhkan suasana tenang dan tertib untuk mengambil tindakan seperlunya terhadap oknum-oknum dan semua pihak yang ikut serta dalam peristiwa 30 September dan untuk mencari penyelesaian.
e)   Di samping itu agar supaya kita jangan kehilangan akal dan tidak tahu apa yang harus kita perbuat untuk melanjutkan dan menyelamatkan revolusi khususnya terhadap ancaman Nekolim yang sudah tentu akan dilaksanakan jika revolusi Indonesia menjadi kacau balau.
f)    Untuk itu Presiden menegaskan agar jangan kita dikemudikan oleh peranan perorangan oleh tindakan – tindakan yang membikin kehidupan bangsa terpecah- pecah membikin Angkatan Bersenjata kita terpecah belah. Ini memang yang dikehendaki dan ditunggu-tunggu oleh Nekolim. Pelajaran dari masa lampau ialah bahwa gontok-gontokan antara kita – selalu diikuti oleh serangan dari pihak Nekolim.
                      Himbauan Presiden Soekarno sudah tidak lagi mampu untuk menenangkan gejolak masyarakat yang pada masa itu tersulut emosi oleh peristiwa tersebut. Terjadi sebuah perpecahan di masyarakat, PKI dianggap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Masyarakat secara luasa menuntut dibubakarkannya PKI, tuntutantersebut yang sering dikenal dengan Tritura. Bubarkan PKI, Perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan. Tuntutan tersebut akhirnya didengar dan kemudian presiden Soekarno akhirnya mengambil sikap dengan tujuan untuk mengamankan pemerintahan. Soekarno mengeluarkan surat perintah guna pengamanan Pemerintahan, yang sampai saat ini dikenal sebaga Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
    Supersemar dimandatkan pada Soeharto yang kemudian menjadi senjata TNI untuk kemudian mampu dengan leluasa memberantas apa yang telah menjadi ancaman sebuah bangsa meskipun harus menggunakan cara – cara yang subversif, termasuk pemberantasan PKI.

SUMBER :
http://ppg.spada.ristekdikti.go.id/master/pluginfile.php/5414/mod_resource/content/1/5.1_POTONGAN%20MATERI.pdf




0 komentar:

Posting Komentar