Selasa, 14 Januari 2020

Materi sejarah indonesia KD 3.8 4.8 kurikulum 2013 revisi 2018 PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN MELALUI PERANG DAN DIPLOMASI


PERJUANGAN BANGSA INDONESIA DALAM MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN MELALUI PERANG DAN DIPLOMASI

3.8 Menganalisis strategi dan bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan Belanda
4.8 Mengolah informasi tentang strategi dan bentuk perjuangan bangsa Indonesia dalam upaya mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Sekutu dan Belanda




Kehadiran pasukan Sekutu yang membawa orang-orang NICA pada tanggal 29 September 1945 sangat mencemaskan rakyat dan pemerintah RI. Keadaan ini semakin memanas ketika NICA mempersenjatai kembali bekas KNIL yang baru dilepaskan dari tahanan Jepang. Para pejabat Republik Indonesia yang menerima kedatangan pasukan ini karena menghormati tugas. Mereka menjadi sasaran teror dan percobaan pembunuhan. Oleh karena itu sikap pasukan Sekutu yang tidak menghormati kedaulatan negara dan bangsa Indonesia ini dihadapi dengan kekuatan senjata, oleh rakyat dan pemerintah. Di beberapa daerah muncul perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan meliputi perjuangan fisik dan perjuangan diplomasi.
1.   Perjuangan Fisik (Perjuangan Bersenjata) Perjuangan fisik yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan meliputi.

A.     Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya tidak lepas kaitannya dengan peristiwa yang mendahuluinya, yaitu usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang yang dimulai tanggal 02 September 1945. Upaya perebutan kekuasaan dan senjata ini membangkitkan suatu pergolakan, sehingga berubah menjadi situasi revolusi yang konfrontatif. Para pemuda berhasil memiliki senjata dari para pemuka pemerintah menguasai pemuda, yang keduanya siap menghadapi berbagai ancaman yang datang dari manapun.
Pada tanggal 25 Oktober 1945 Brigadir 49 di bawah pimpinan Brigadir Jenderal A W.S. Mallaby mendarat di pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Brigadir ini merupakan bagian dari Divisi India ke-23, dibawah pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. Mereka mendapat tugas melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan tawanan Sekutu. Pasukan ini berkekuatan 6000 personil di mana perwira-perwiranya kebanyakan orang-orang Inggris dan prajuritnya orang-orang Gurkha dari Nepal yang telah berpengalaman perang. Rakyat dan pemerintah Jawa Timur di bawah pimpinan Gubernur R.M.T.A Suryo semula enggan menerima kedatangan Sekutu. Kemudian antara wakil-wakil pemerintah RI dan Birgjen AW.S. Mallaby mengadakan pertemuan yang menghasilkan kesepakatan sebagai berikut:
  • ·         Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat angkatan perang Belanda.
  • ·         Kedua belah pihak akan bekerja sama untuk menjamin keamanan dan ketenteraman.
  • ·         Akan segera dibentuk “Kontact Bureau” (kontrak biro) agar kerjasama dapat terlaksana dengan sebaik-baiknya.
  • ·         Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang.

Kemudian pihak RI memperkenankan tentara Inggris memasuki kota, dengan syarat hanya objek-objek yang sesuai dengan tugasnya yang boleh diduduki, seperti kamp-kamp tawanan. Pihak Inggris juga menyatakan bahwa diantara tentara mereka tidak terdapat tentara Belanda. Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari janjinya. Pada tanggal 26 Oktober 1945 malam satu peleton dari Field Security Section di bawah pimpinan kapten Shaw, melakukan penyergapan ke penjara Kalisosok untuk membebaskan Koloner Huyier, seorang kolonel angkatan laut Belanda dan kawan-kawannya.
Tindakan ini dilanjutkan dengan penyebaran pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka. Rakyat Surabaya dan TKR bertekad untuk mengusir Sekutu dari bumi Indonesia dan tidak akan menyerahkan senjata-senjata yang diramas dari Jepang. Pemerintah RI mananyakan perihal tersebut kepada Mallaby. Akan tetapi Mallaby mengaku tidak mengetahui perihal pamflet tersebut, tetapi ia berpendirian bahwa sekalipun sudah ada perjanjian dengan pemerintah RI, ia akan melaksanakan segala tindakan dengan isis pamflet tersebut. Sikap ini menghilangkan kepercayaan pemerintah RI twerhadapnya. Pemerintah RI memerintahkan kepada para pemuda untuk siaga menghadapi segala kemungkinan pihak Inggris mulai menyita kendaraan-kendaraan yang lewat.
Kontak senjata antara rakyat Surabaya melawan Inggris terjadi pada tanggal 27 Oktober 1945. Peristiwa meluas menjadi serangan umum terhadap kedudukan Inggris di seluruh kota selama dua hari, dan pertempuran seru terjadi dibeberapa sektor, serta tank-tank mereka berhasil dilumpuhkan. Pada tanggal 29 Oktober 1945, beberapa objek vitas dapat direbut kembali oleh pemuda. Untuk menyelamatkan pasukannya dari bahaya kehancuran total, pihak Inggris menghubungi Presiden Soekarno, dan meminta presiden untuk memerintahkan pihak Indonesia menghentikan serangan. Pada keesokan harinya, tanggap 29 Oktober 1945 pukul 11.30, Presiden Soekarno bersama-sama dengan Mayor Jenderal D.C Hawtorn tiba di Surabaya.
Presiden Soekarno didampingi oleh wakil presiden Drs. Moh. Hatta dan Mentri Penerangan Amir Syarifuddin segera berunding dengan Mallaby. Perundingan menghasilkan keputusan menghentikan kontak senjata. Perundingan dilanjutkan pada malam hari antara Presiden Soekarno, wakil presiden RI di Surabaya, wakil pemuda, dan pihak Inggris yang didampingi oleh Jenderal Howtorn. Perundingan yang dilaksanakan tersebut didapat suatu kesepakatan yaitu eksistensi RI diakuai oleh Inggris dan cara-cara menghindari bentrokan sebjata diatur sebagai berikut:
  • ·         Surat-surat selebaran yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal D.C Howtorn dinyatakan tidak berlaku.
  • ·         Inggris mengakui eksistensi TKR dari polisi.
  • ·         Pasukan Inggris hanya bertugas menjaga kamp-kamp tawanan, dan penjagaan dilakukan bersama TKR.
  • ·         Untuk sementara waktu Tanjung Perak dijaga oleh TKR, polisi, dan tentara Inggris guna menyelesaikan tugas menerima obat-obatan untuk tawanan perang.

Sementara itu, dibeberapa tempat masih terjadi pertempuran, sekalipun sudah diumumkan gencatan senjata. Oleh karena itu, anggota dari Kontak Biro dari kedua belah pihak mendatangi tenpat-tempat tersebut dengan maksud menghentikan pertempuran. Pada pukul 17.00 WIB pada tanggal 30 Oktober, seluruh anggota Kontak Biro pergi bersama-sama menuju beberapa tempat. Tempat terakhir yaitu di gedung Bank International di Jembatan Merah. Gedung ini masih diduduki oleh pasukan Inggris, dan pemuda-pemuda masih mengepungnya. Setibanya di tempat tersebut terjadi insiden yaitu pemuda-pemuda menuntut agat pasukan Mallaby menyerah, dan Mallaby tidak dapat menerima tuntutan tersebut. Tiba-tiba terdengar tembakan gencar dari dalam gedung yang dilakukan oleh pasukan Inggris. Pemuda-pemuda membalas serangan tersebut, dan di tengah-tengah keributan dan kekacauan tersebut pada anggota Kontak Biro mencari perlindungan sendiri-sendiri. Mallaby menjadi sasaran para pemuda, dia ditusuk dengan bayonet dan bambu runcing. Pengawal-pengawal melarikan diri dan Mallaby terbunuh. Dengan terbunuhnya Mallaby, pihak Inggris menuntut pertanggungjawaban kepada rakyat Surabaya.
Pada tanggal 9 November 1945 Mayor Jenderal E.C. Mansergh sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum kepada bangsa Indonesia di Surabaya. Ultimatum itu isinya agar seluruh rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya menyerahkan diri dengan senjatanya, mengibarkan bendera putih, dan dengan tangan di atas kepala berbaris satu-satu. Jika pada pukul 06.00 ultimatum itu tidak diindahkan maka Inggris akan mengerahkan seluruh kekuatan darat, laut dan udara. Ultimatum ini dirasakan sebagai penghinaan terhadap martabat bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang cinta damai tetapi lebih cinta kemerdekaan. Oleh karena itu rakyat Surabaya menolak ultimatum tersebut secara resmi melalui pernyataan Gubernur Suryo. Karena penolakan ultimatum itu maka meletuslah pertempuran pada tanggal 10 Nopember 1945. Melalui siaran radio yang dipancarkan dari Jl. Mawar No.4 Bung Tomo membakar semangat juang arek-arek Surabaya. Kontak senjata pertama terjadi di Perak sampai pukul 18.00. Pasukan Sekutu di bawah pimpinan Jenderal Mansergh mengerahkan satu Divisi infantri sebanyak 10.000 – 15.000 orang dibantu tembakan dari laut oleh kapal perang penjelajah “Sussex” serta pesawat tempur “Mosquito” dan “Thunderbolt”.
Dalam pertempuran di Surabaya ini seluruh unsur kekuatan rakyat bahu membahu, baik dari TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR maupun TKR laut di bawah Komandan Pertahanan Kota, Soengkono. Pertempuran yang berlangsung sampai akhir November 1945 ini rakyat Surabaya berhasil mempertahankan kota Surabaya dari gempuran Inggris walaupun jatuh korban yang banyak dari pihak Indonesia. Oleh karena itu setiap tanggal 10 November bangsa Indonesia memperingati Hari Pahlawan. Hal ini sebagai penghargaan atas jasa para pahlawan di Surabaya yang mempertahankan tanah air Indonesia dari kekuasaan asing.
B.    Pertempuran Ambarawa


Kedatangan Sekutu di Semarang tanggal 20 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigadir lenderal Bethel semula diterima dengan baik oleh rakyat karena akan mengurus tawanan perang. Akan tetapi, secara diam-diam mereka diboncengi NICA dan mempersenjatai para bekas tawanan perang di Ambarawa dan Magelang. Setelah terjadi insiden di Magelang antara TKR dengan tentara Sekutu maka pada tanggal 2 November 1945 Presiden Soekarno dan Brigadir Jendral Bethel mengadakan perundingan gencatan senjata.
Pada tanggal 21 November 1945 pasukan Sekutu mundur dari Magelang ke Ambarawa dengan naungan pesawat P-51 Mustang. Gerakan ini segera dikejar resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letnan Kolonel M. Sarbini dan meletuslah pertempuran Ambarawa, karena penarikan pasukan sekutu juga diikuti dengan bumi hangus desa-desa yang dilaluinya. Pasukan Angkatan Muda di bawah Pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan Surakarta menghadang Sekutu di desa Lambu. Dalam pertempuran di Ambarawa ini gugurlah Letnan Kolonel Isdiman, Komandan Resimen Banyumas. Dengan gugurnya Letnan Kolonel Isdiman, komando pasukan dipegang oleh Kolonel Soedirman, Panglima Divisi di Purwokerto. Kolonel Soedirman mengkoordinir komandan-komandan sektor untuk menyusun strategi penyerangan terhadap musuh. Pada saat itu pasukan Sekutu sudah terjepit dan bertahan disebuah benteng kuno Fort Willem I, sedangkan pasukan TKR terus bertambah dengan kedatangannya laskar-laskar dan pasukan lain, seperti Laskar Hasbullah, Laskar Banteng, Barisan Pelopor, Soereng Koeresno, Soereng Koeren Tai, Laskar Rakyat Mlati dan Laskar Rakyat Sleman.
Tanggal 11 Desember 1945, Soedirman mengumpulkan pimpinan pasukan-pasukan tersebut untuk membicarakan taktik serangan pamungkas. Taktik yang dipakai adalah penjepitan dari dua arah atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan sebagai “Taktik Supit Urang” (Taktik Capit Udang). Penyerangan akan difokuskan di Magelang dan Ambarawa, dan menutup semua akses kecuali ke Semarang. Pasukan TKR divisi V dari Purwokerto akan bergerak menyerang Magelang dibantu TKR dan laskar dari Yogyakarta dari arah berbeda. Serangan ini untuk menutup akses dari Ambarawa menuju Yogyakarta.
Sementara itu, TKR dari daerah Pati dan Kedu akan bergerak mengamankan akses Ambarawa – Semarang, sedangkan dari arah Timur pasukan TKR Salatiga dan TKR laskar dari Surakarta bergerak menuju Ambarawa untuk menutup akses Ambarawa – Surakarta. Pemutusan akses tersebut juga untuk menutup bantuan logistik dan pasukan Sekutu dari kota-kota tersebut. Serangan serentak tersebut direncanakan pada subuh tanggal 12 Desember dengan dipimpin langsung oleh Kolonel Soedirman. Usai sholat subuh rentetan tembakan mitraliur menggema tiada henti. Setelah beberapa waktu datang kabar pasukan TKR dari Pati dan Kendal berhasil mengamankan Semarang- Ambarawa. Namun, tidak demikian dengan pertempuran di dalam kota, terutama di sekitar benteng Fort Willem I yang menjadi basis utama pasukan Sekutu.
Pada tanggal 12 Desember 1945 pasukan TKR berhasil mengepung musuh yang bertahan di benteng Willem, yang terletak di tengah-tengah kota Ambarawa. Selama 4 hari 4 malam kota Ambarawa di kepung. Karena merasa terjepit maka pada tanggal 15 Desember 1945 pasukan Sekutu meninggalkan Ambarawa menuju ke Semarang.
C.    Pertempuran Medan Area dan Sekitarnya
erita Proklamasi Kemerdekaan baru sampai di Medan pada tanggal 27 Agustus 1945. Hal ini disebabkan sulitnya komunikasi dan adanya sensor dari tentara Jepang. Berita tersebut dibawa oleh Mr. Teuku M. Hassan yang diangkat menjadi Gubernur Sumatra. Ia ditugaskan oleh pemerintah untuk menegakkan kedaulatan Republik Indonesia di Sumatera dengan membentuk Komite Nasional Indonesia di wilayah itu. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Utara di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly. Serdadu Belanda dan NICA ikut membonceng pasukan ini yang dipersiapkan mengambil alih pemerintahan. Pasukan Sekutu membebaskan para tawanan atas persetujuan Gubernur Teuku M. Hassan. Para bekas tawanan ini bersikap congkak sehingga menyebabkan terjadinya insiden di beberapa tempat.
Achmad Tahir, seorang bekas perwira tentara Sukarela memelopori terbentuknya TKR Sumatra Tirnur. Pada tanggal l0 Oktober 1945. Di samping TKR, di Sumatera Timur terbentuk Badan-badan perjuangan dan laskar-laskar partai. Pada tanggal 18 Oktober 1945 Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly memberikan ultimatum kepada pemuda Medan agar menyerahkan senjatanya. Aksi-aksi teror mulai dilakukan oleh Sekutu dan NICA. Pada tanggal 1 Desember 1945 Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran kota Medan. Bagaimana sikap para pemuda kita? Mereka dengan gigih membalas setiap aksi yang dilakukan pihak Inggris dan NICA. Pada tanggal 10 Desember 1945 pasukan Sekutu melancarkan serangan militer secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat-pesawat tempur. Pada bulan April 1946 pasukan Inggris berhasil mendesak pemerintah RI ke luar Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang Siantar. Walaupun belum berhasil menghalau pasukan Sekutu, rakyat Medan terus berjuang dengan membentuk Lasykar Rakyat Medan Area.
Daerah-daerah sekitar Medan juga terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang, Sekutu, dan Belanda. Di Padang dan Bukittinggi pertempuran berlangsung sejak bulan November 1945. Sementara itu dalam waktu yang sama di Aceh terjadi pertempuran melawan Sekutu. Dalam pertempuran ini Sekutu memanfaatkan pasukan-pasukan Jepang untuk menghadapi perlawanan rakyat sehingga pecah pertempuran yang dikenal dengan peristiwa Krueng Panjol Bireuen. Pertempuran di sekitar Langsa/Kuala Simpang Aceh semakin sengit ketika pihak rakyat dipimpin langsung oleh Residen Teuku Nyak Arif. Dalam pertempuran ini pejuang kita berhasil mengusir Jepang. Dengan demikian di seluruh Sumatera rakyat bersama pemerintah membela dan mempertahankan kemerdekaan.
D.     Pertempuran Padang dan Sekitarnya
Di Pelabuhan Teluk Bayur pasukan Inggris mendarat dibawah pimpinan Brigadier Hutchinson, dua hari kemudian 13 Oktober 1945 ia mengadakan pertemuan dengan Pemerintah RI Sumatra Barat. Tujuannya sama seperti Sekutu yang datang didaerah lain, mereka juga ingin meminjam kantor residen yang akan digunakan sebagai kantornya. Indonesia yang masih mencari pengakuan dari negara lain menafsirkan bahwa permintaan tersebut adalah pengakuan de facto dari Inggris untuk Indonesia. Lagi-lagi Inggris tidak dapat memegang perjanjian tersebut, buktinya banyak rumah rakyat yang di obrak-abrik hanya untuk mencari senjata. Pasukan Belandapun mendapat perlindungan dari Inggris hingga Belanda berani melakukan langkah-langkah, salah satunya adalah memukuli seorang kepala sekolah, hal ini adalah pemicu serangan yang dilakukan tanggal 17 November 1945. Insiden bertambah luas yang terjadi pada 5 Desember 1945, apalagi hal tersebut dengan terbunuhnya beberapa anggota Inggris, sehingga Inggris melakukan serentetan balasan pada TKR yang juga menyebabkan beberapa anggotanya tewas.
Pertempuran yang besar terjadi pada tanggal 21 Februari 1946, akhirnya mereka dapat menghancurkan pos pertahanan Inggris dan membongkar gudang senjata. Tapi setelah itu, Inggris membalasnya pada tanggal 14 Juni 1946 dengan menyerang Batu Busuak, TRI pun juga melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris 7-9 Juli 1946 dan akhirnya Inggrispun meninggalkan Simpang Haru yang merupakan tempat penyerangan selama tiga hari tersebut.Serangan masih tetap berlanjut dan mereka masih tetap bertahan meskipun tujuan utama mereka telah terlaksan, hal itu karena Inggris menunggu kesiapan Belanda untuk mengambil alih kedudukan mereka. 28 November 1946 merupakan serah terima pasukan Inggris dengan Belanda dan esok harinya Inggrispun meningglakan Padang.
E.    Pertempuran Bandung Lautan Api
Pristiwa Bandung Lautan Api merupakan kisah nyata heroik yang dilakukan oleh tentara republik Indonesia (TRI) bekerja sama dengan para pemuda pejuang kota Kembang demi mempertahankan wilayah mereka dari masuknya kembali Belanda yang berkomplot dengan tentara Sekutu. Pada tanggal 12 Oktober 1945 di bawah pimpinan Brigadir Mac Donald pasukan Inggris tiba di Bandung. Sejak awal hubungan antara mereka dengan Pemerintah RI sudah bersitegang, orang-orang Belandapun yang baru di bebaskan sudah memperlihatkan sikap yang tidak baik. Akibatnya, bentrokan bersenjatapun tidak dapat diingkari lagi. Tanggal 24 November 1945 TKR dan badan perjuangan lainnya melancarkan serangan terhadap kedudukan Inggris, tiga hari kemudian Mac Donald menyampaikan ultimatum agar para penduduk mengosongkan Bandung Utara. Jawaban dari ultimatum tersebut adalah berdirinya pos-pos gerilya di berbagai tempat, sehingga selama bulan Desember terjadi beberapa pertempuran. Inggris masih tetap berusaha merebut apa yang dimiliki bangsa Indonesia, pertempuran juga terjadi ketika Inggris ingin membebaskan interniran Belanda dari kamp-kamp interniran.
Selama berlangsungnya pertempuran, banyak serdadu India yang menjadi bagian Inggris, melakukan desersi dan bergabung dengan pasukan Indonesia. Pihak Inggris akhirnya meminta kepada panglima devisi tiga agar pasuka India tersebut diserahkan kepada mereka. Kegagalan bangsa Indonesia dalam melakukan serangan maupun penyelesaian menyebabkan Inggris bermain di tingkat atas. Tanggal 23 Maret 1946 mereka memberikan ultimatum kepada Perdana Menteri Sutan Sjahrir agar bangsa Indonesia meningglkan Bandung, tetapi hal itu ditolak secara tegas karena hal tersebut dirasa tidak mungkin. 23 Maret 1946 dengan alasan untuk menyelamatkan TRI dari kehancuran, Sjahrir mendesak Nasution agar ultimatum tersebut dipenuhi, karena dirasa TRI belum mampu menghadapi pasukan Inggris. Akhirnya sekali lagi Nasution menghubungi Inggris agar batas waktu tersebut diperpanjang tetapi hasilnya Inggris tetap menolak dan sebaliknya Nasutionpun juga menolak tawaran Inggris untuk meminjamkan truk untuk mengangkut pasukan Indonesia.
Pertemuan antara Nasution dan para komandan TRI, para pemimpin laskar dan aparat pemerintahan mencapai kesepakatan yaitu akan membumi hanguskan Bandung sebelum tempat itu ditinggalkan. Akhirnya tempat pertama yang dibumi hsnguskan adalah Bank Rakyat, dan dilanjutkan di tempat penting lainya. Selain itu anggota TRI juga membakar asrama mereka sendiri, akhirnya 24 Maret 1946 semua orang meninggalkan Bandung yang saat itu sudah menjadi lautan api.
2. Perjuangan Diplomasi (Perundingan) Perjuangan diplomasi (perundingan) yang dilakukan oleh bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan adalah sebagai berikut:
A. Perundingan Hooge Veluwe
Sebelum diadakan perjanjian antara Belanda dengan Republik Indonesia di Belanda. Sebelumnya telah ada dialog antara keduanya yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 10 Februari – 12 Maret 1946. Dalam perundingan ini pihak Indonesia yang diwakilkan oleh Sutan Syahrir berhasil mencapai titik perundingan dengan diakuinya kedaulatan Republik Indonesia secara de facto terdiri dari Jawa dan Sumatra oleh Belanda dengan wakilnya Van Mook disertai penengah dari Inggris A. Clark Kerr dan Lord Killearn. Namun perundingan ini mengalami permasalahan di tingkat pejabat Belanda di Den Haag, pejabat di Den Haag cenderung mengabaikan hasil perundingan yang diadakan di Jakarta ini.
Usaha untuk terus mencapai kedaulatan telah diupacayakan oleh pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim perwakilannya untuk berunding dengan pemerintah Belanda di Den Haag agar Belanda segera mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dalam perundingan ini wakil-wakil Indonesia diwakilkan oleh; Mr. Soewandi (menteri kehakiman), Dr Soedarsono (ayah MenHanKam Juwono Soedarsono yang saat itu menjabat menteri dalam negeri), dan Mr Abdul Karim Pringgodigdo dan dipihak Belanda yang dimpimpin langsung Perdana menteri Schermerhorn. Dalam delegasi ini terdapat Dr Drees (menteri sosial), J.Logeman (menteri urusan seberang), J.H.van Roijen (menteri luar negeri) dan Dr van Mook (selaku letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda).
Perundingan dilaksanakan di Hooge Veluwe pada tanggal 14-24 April 1946 dan berlangsung sangat alot sebab delegasi Belanda ini mengabaikan perundingan yang telah disepakati sebelumnya di Jakarta. Perundingan Hooge Veluwe membahas pokok permasalahan adalah sebagai berikut:
·         Substansi konsep perjanjian atau protokol sebagai bentuk kesepakatan penyelesaian persengketaan yang akan dihasilkan nantinya oleh perundingan Hoge Veluwe,
·         Pengertian yang diajukan dalam konsep protokol Belanda seperti Persemakmuran (Gemeenebest); negara merdeka (Vrij-staat),
·         Pengertian struktur negara berdasarkan federasi,
·         Pengertian mengenai batas wilayah kekuasaan de facto RI, yang hanya meliputi pulau Jawa.
·         Pihak Belanda terus bersikeras untuk menolak hasil perundingan sebelumnya di Jakarta (Van Mook – Syahrir) dengan alasan pemerintah Belanda saat itu karena untuk dapat menerima hasil perundingan di Indonesia, Undang-undang Dasar Belanda harus berubah dahulu. Ini akan makan waktu lama. Padahal Belanda sedang menghadapi pemilihan umum yang tidak beberapa lama lagi akan berlangsung.
B. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian Linggarjati dilakukan pada tanggal 10-15 November 1946 di Linggarjati, dekat Cirebon. Perjanjian tersebut dipimpin oleh Lord Killearn, seorang diplomat Inggris. Pada tanggal 7 Oktober 1946 Lord Killearn berhasil mempertemukan wakil-wakil pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan yang berlangsung di rumah kediaman Konsul Jenderal Inggris di Jakarta. Dalam perundingan ini masalah gencatan senjata yang tidak mencapai kesepakatan akhirnya dibahas lebih lanjut oleh panitia yang dipimpin oleh Lord Killearn. Hasil kesepakatan di bidang militer sebagai berikut:
·         Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.
·         Dibentuk sebuah Komisi bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.
·         Hasil Perundingan Linggarjati ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947 di Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) Jakarta, yang isinya adalah sebagai berikut:
·         Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi SumatraJawa dan Madura.
·         Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949.
·         Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia.
·         Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia – Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.
Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani tanggal 15 November 1946 mendapat tentangan dari partai-partai politik yang ada di Indonesia. Sementara itu, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 tentang penambahan anggota KNIP untuk partai besar dan wakil dari daerah luar Jawa. Tujuannya adalah untuk menyempurnakan susunan KNIP. Ternyata tentangan itu masih tetap ada, bahkan presiden dan wakil presiden mengancam akan mengundurkan diri apabila usaha-usaha untuk memperoleh persetujuan itu ditolak.
Akhirnya, KNIP mengesahkan perjanjian Linggarjati  pada tanggal 25 Februari 1947, bertempat di Istana Negara Jakarta. Persetujuan itu ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947. Apabila ditinjau dari luas wilayah, kekuasaan Republik Indonesia menjadi semakin sempit, namun bila dipandang dari segi politik intemasional kedudukan Republik Indonesia bertambah kuat. Hal ini disebabkan karena pemerintah Inggris, Amerika Serikat, serta beberapa negara-negara Arab telah memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia
Persetujuan itu sangat sulit terlaksana, karena pihak Belanda menafsirkan lain. Bahkan dijadikan sebagai alasan oleh pihak Belanda untuk mengadakan Agresi Militer I pada tanggal 21 Juli 1947. Bersamaan dengan Agresi Militer I yang dilakukan oleh pihak Belanda, Republik Indonesia mengirim utusan ke sidang PBB dengan tujuan agar posisi Indonesia di dunia internasional semakin bertambah kuat. Utusan itu terdiri dari Sutan Svahrir, H. Agus Salim, Sudjatmoko, dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo.
Kehadiran utusan tersebut menarik perhatian peserta sidang PBB, oleh karena itu Dewan Keamanan PBB memerintahkan agar dilaksanakan gencatan senjata dengan mengirim komisi jasa baik (goodwill commission) dengan beranggotakan tiga negara. Indonesia mengusulkan Australia, Belanda mengusulkan Belgia, dan kedua negara yang diusulkan itu menunjuk Amerika Serikat sebagai anggota ketiga. Richard C. Kirby dari A.ustralia, Paul van Zeeland dari Belgia, dan Frank Graham dari Amerika Serikat. Di Indonesia, ketiga anggota itu terkenal dengan sebutan Komisi Tiga Negara (KTN). Komisi ini menjadi perantara dalam perundingan berikutnya.

C.  Agresi Militer 1
Operatie Product (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
Agresi militer Belanda I diawali oleh perselisihan Indonesia dan Belanda akibat perbedaan penafsiran terhadap ketentuan hasil Perundingan Linggarjati. Pihak Belanda cenderung menempatkan Indonesia sebagai negara persekmakmuran dengan Belanda sebagai negara induk. Sebaliknya, pihak Indonesia tetap teguh mempertahankan kedaulatannya terlepas dari Belanda.
Adapun tujuan Belanda mengadakan agresi militer I yaitu sebagai berikut:
·         Tujuan politik Mengepung ibu kota Republik Indonesia dan menghapus kedaulatan Republik Indonesia.
·         Tujuan ekonomi. Merebut pusat-pusat penghasil makanan dan bahan ekspor.
·         Tujuan militer Menghancurkan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Agresi Militer Belanda I direncanakan oleh H.J. van Mook. Van Mook berencana mendirikan negara boneka dan ingin mengenbalikan kekuasaan Belanda atas wilayah Indonesia. Untuk mencapai tujuan iitu, pihak Belanda tidak mengakui Perundingan Linggarjati, bahkan merobek-robek kertas persetujuan itu. Selanjutnya pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan aksi militer yang pertama dengan menyerang daerah-daerah Republik Indonesia di Pulau Jawa dan Sumatra.
Pasukan TNI belum siap menghadang serangan yang datangna secara tiba-tiba itu. Serangan tersebut mengakibatkan pasukan TNI terpencar-pencar. Dalam keadaan seperti itu, pasukan TNI berusaha untuk membangun daerah pertahanan baru. Pasukan TNI kemudian melancarkan taktik perang gerilya, ruang gerak untuk menghadapi pasukan Belanda. Dengan taktik perang gerilya, ruang gerak pasukan Belanda berhasil dibatasi. Gerakan pasukan Belanda hanya berada di kota besar dan jalan raya, sedangkan di luar kota, kekuasaan berada di tangan pasukan TNI.
Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional. Pada tanggal 30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar acara Dewan Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintah penghentian permusuhan antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Guna mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk Komisi Konsuler yang anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang ada di Indonesia. Komisi Konsuler yang dikuasi oleh Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote dengan anggotanya Konsul Jenderal Cina, Prancis, Australia, Belgia dan Inggris.
Komisi Konsuler itu diperkuat dengan militer Amerika Serikat dan Prancis, yaitu sebagai peninjau militer. Dalam laporannya kepada Dewan Keamanan PBB, Komisi Konsuler menyatakan bahwa antara tanggal 30 Juli 1947 – 4 Agustus 1947 pasukan Belanda masih mengadakan gerakan militer. Pemerintah Indonesia menolak garis demarkasi yang dituntut oleh pemerintah Belanda berdasarkan kemajuan pasukannya setelah perintah gencatan senjata. Namun penghentian tembak-menembak telah dimusyawarahkan, meski belum menemukan tindakan yang dapat mengurangi jatuhnya korban jiwa.
D.  Perjanjian Renville
Perjanjian Renville diambil dari nama sebutan kapal perang milik Amerika Serikat yang dipakai sebagai tempat perundingan antara pemerintah Indonesia dengan pihak Belanda, dan KTN sebagai perantaranya. Dalam perundingan itu, delegasi Indonesia diketuai oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan pihak Belanda menempatkan seorang Indonesia yang bernama Abdulkadir Wijoyoatmojo sebagai ketua delegasinya. Penempatan Abdulkadir Wijoyoatmojo ini merupakan siasat pihak Belanda dengan menyatakan bahwa pertikaian yang terjadi antara Indonesia dengan Belanda merupakan masalah dalam negeri Indonesia dan bukan menjadi masalah intemasional yang perlu adanya campur tangan negara lain.
Setelah melalui perdebatan dan permusyawaratan dari tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Juni 1948 maka diperoleh persetujuan Renville. Isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut:
·         Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai dengan terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS).
·         Sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah federal.
·         RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Negara Belanda dalam Uni Indonesia-Belanda.
·         Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS.
·         Kerugian-kerugian yang diderita bangsa Indonesia dari perjanjian Renville adalah sebagai berikut:
·         Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya Negara Indonesia serikat melalui masa peralihan.
·         Indonesia kehilangan sebagian daerahnya karena garis Van Mook terpaksa harus diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.
·         Pihak republik harus menarik seluruh pasukannya yang ada di daerah kekuasaan Belanda dan dari kantong-kantong gerilya masuk daerah RI.
·         Wilayah RI menjadi semakin sempit dan dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan Belanda.
·         Terjadi Hijrah TNI ke pusat pemerintahan di Yogyakarta.
·         Terjadinya pemberontakan DI/TII.
·         Terjadinya pemberontakan PKI di Madiun 1948.
·         Jatuhnya kabinet Amir Syarifudin diganti dengan Moh.Hatta.

E. Agresi Militer II
Pada 18 Desember 1948, Belanda di bawah pimpinan Dr. Bell mengumumkan bahwa Belanda tidak terikat lagi oleh Persetujuan Renville. Pada 19 Desember 1948 Belanda mengadakan Agresi Militer II ke ibu kota Yogyakarta. Dalam agresi itu Belanda dapat menguasai Yogyakarta. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta ditawan dan diasingkan ke Pulau Bangka. Beliau lalu mengirimkan mandat lewat radio kepada Mr. Syaffruddin Prawiranegara, isinya agar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), di Bukit Tinggi Sumatra Barat.
Pada 1 Maret 1949 Brigadir X mengadakan serangan umum ke Yogyakarta. Penyerangan ini dipimpin Letkol. Soeharto. Serangan ini memakai sandi “Janur Kuning”. Serangan ini dikenal juga dengan “Serangan Umum 1 Maret”. Dalam penyerangan ini Tentara Republik Indonesia dalam serangan ini berhasil menduduki Kota Yogyakarta selama 6 jam.
F.   Perjanjian Roem-Royen
Perjanjian ini merupakan perjanjian pendahuluan sebelum KMB. Salah satu kesepakatan yang dicapai adalah Indonesia bersedia menghadiri KMB yang akan dilaksanakan di Den Haag negeri Belanda. Untuk menghadapi KMB dilaksanakan konferensi inter Indonesia yang bertujuan untuk mengadakan pembicaraan antara badan permusyawaratan federal (BFO/Bijenkomst Voor Federal Overleg) dengan RI agar tercapai kesepakatan mendasar dalam menghadapi KMB. Komisi PBB yang menangani Indonesia digantikan UNCI. UNCI berhasil membawa Indonesia-Belanda ke meja Perjanjian pada tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan persetujuan Belanda dari Indonesia yaitu:
·         Menyetujui kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
·         Menghentikan gerakan militer dan membebaskan para tahanan republik.
·         Menyetujui kedaulatan RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat.
·         Menyelenggarakan KMB segera sesudah pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta.
·         Persetujuan Indonesia dari Belanda meliputi sebagai berikut:
·         Pemerintah Republik Indonesia akan mengeluarkan perintah penghentian perang gerilya.
·         Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan Bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan.
·         Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
·         Peristiwa-peristiwa penting realisasi Roem-Royen Statement adalah sebagai berikut:
·         Penarikan tentara Belanda secara bertahap dari Yogyakarta dari 24 Juni sampai 29 Juni 1949.
·         Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta tanggal 1 Juli 1949.
·         Presiden,wakil presiden dan para pejabat tinggi Negara kembali ke Yogyakarta tanggal 6 Juli 1949.
·         Jendral Sudirman kembali ke Yogyakarta tanggal 10 Juli 1949.
G.     Konferensi Inter Indonesia
Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai “trace baru” bagi arah perjuangan Indonesia. Konferensi ini banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Konferensi Inter-Indonesia penting untuk menciptakan kesamaan pandangan menghadapi Belanda dalam KMB. Konferensi diadakan setelah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta. Konferensi Inter-Indonesia I diadakan di Yogyakarta pada tanggal 19 – 22 Juli 1949. Konferensi Inter-Indonesia I dipimpin Mohammad Hatta. Konferensi Inter-Indonesia II diadakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli – 2 Agustus 1949. Konferensi Inter-Indonesia II dipimpin oleh Sultan Hamid (Ketua BFO).
Pembicaraan dalam Konferensi Inter-Indonesia hampir semuanya difokuskan pada masalah pembentukan RIS, antara lain:
·         Masalah tata susunan dan hak Pemerintah RIS,
·         Kerja sama antara RIS dan Belanda dalam Perserikatan Uni.
·         Sedangkan hasil Konferensi Inter-Indonesia adalah disepakatinya beberapa hal berikut ini.
·         Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat).
·         RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.
·         RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.
·         Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.
·         Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.
·         Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan sebagai berikut:
·         Bendera RIS adalah Sang Merah Putih
·         Lagu kebangsaan Indonesia Raya
·         Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia
·         Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO.
H.  Konferensi Meja Bundar
Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan tindak lanjut dari Perundingan Roem-Royen. Sebelum KMB dilaksanakan, RI mengadakan pertemuan dengan BFO (Badan Permusyawaratan Federal). Konferensi Meja Bundar dilatarbelakangi oleh usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan. Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjatiperjanjian Renvilleperjanjian Roem-van Roiyen, dan Konferensi Meja Bundar.
Realisasi dari perjanjian Roem-Royen adalah diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Konferensi tersebut berlangsung selama 23 Agustus sampai 2 November 1949. Konferensi ini diikuti oleh delegasi Indonesia, BFO, Belanda, dan UNCI. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid dari Pontianak. Delegasi Belanda diketuai oleh J. H Van Maarseveen. Sebagai penengah adalah wakil dari UNCI oleh Critley R. Heremas dan Marle Cochran. Hasil dari persetujuan KMB adalah sebagai berikut:
·         Belanda menyerahkan dan mengakui kedaulatan Indonesia tanpa syarat dan tidak dapat ditarik kembali
·         Indonesia akan berbentuk Negara serikat (RIS) dan merupakan uni dengan Belanda.
·         RIS mengembalikan hak milik Belanda dan memberikan hak konsesi dan izin baru untuk perusahaan-perusahaan Belanda.
·         RIS harus menanggung semua hutang Belanda yang dibuat sejak tahun 1942.
·         Status karisidenan Irian akan diselesaikan dalam waktu 1 tahun setelah penyerahan kedaulatan RIS.
·         Makna dari Persetujuan KMB yaitu merupakan babak baru dalam perjuangan sejarah Indonesia. Meskipun merupakan Negara serikat tetapi wilayahnya hampir mencakup seluruh Indonesia. Eksistensi pemerintah RI di mata dunia internasional makin kuat.
·         Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB;
·         Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.
·         BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.
·         Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.
·         UNCI diwakili oleh Chritchley.
·         Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi tersebut. Hasil dari KMB adalah sebagai berikut:
·         Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
·         Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.
·         Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.
·         Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.
·         Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.
·         Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.
·         Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagi bangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia, sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia.
·         Pelaksanan KMB dapat memberikan dampak bagi beberapa pihak. Dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia adalah sebagai berikut:
·         Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
·         Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.
·         Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.
·         Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI.  Tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda ini juga merupakan tanggal yang diakui oleh Belanda sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Barulah sekitar enam puluh tahun kemudian, tepatnya pada 15 Agustus 2005, pemerintah Belanda secara resmi mengakui bahwa kemerdeekaan de facto Indonesia bermula pada 17 Agustus 1945. Dalam sebuah konferensi di Jakarta, Perdana Menteri Belanda Ben Bot  mengungkapkan “penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan” yang dialami rakyat Indonesia selama empat tahun Revolusi Nasional, meski ia tidak secara resmi menyampaikan permohonan maaf. Reaksi Indonesia kepada posisi Belanda umumnya positif; menteri luar negeri Indonesia Hassan Wirayuda mengatakan bahwa, setelah pengakuan ini, “akan lebih mudah untuk maju dan memperkuat hubungan bilateral antara dua negara”. Tekait utang Hindia-Belanda, Indonesia membayar sebanyak kira-kira 4 miliar gulden dalam kurun waktu 1950-1956 namun kemudian memutuskan untuk tidak membayar sisanya.


SUMBER :
https://www.google.com/search?q=perjuangan+bangsa+indonesia+dalam+ mempertahankan+kemerdekaan&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj_ hv6hmI7NAhXJGpQKHW5fCGIQ_AUIBygB#imgrc=8uf9VYG6UY_ehM%3A
https://www.google.com/search?q=perjuangan+bangsa+indonesia+dalam +mempertahankan+kemerdekaan&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwj_hv6h mI7NAhXJGpQKHW5fCGIQ_AUIBygB#tbm=isch&q=p

Mardikaningsih & Sumaryanto. 2013. Sejarah untuk Kelas XII SMA dan MA Program IPS. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Poesponegoro, M.D. & Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Edisi Khusus Hari Pahlawan Tempo Bung Tomo: Soerabaja di tahun 45. Majalah Berita Mingguan. 2015. ISBN 3126-14293.
Kisah-Kisah Heroik Penjaga NKRI. Demi Harga Diri Bangsa kuserahkan Jiwa Ragaku. Jakarta: Kompas Media Nusantara. ISBN 979-709-404-1


0 komentar:

Posting Komentar